Langsung ke konten utama

Seorang Syeikh dan Demokrasi

Menarik sekali apa yang dipesankan seorang Syekh yang dirahmati Allah, Syekh Abdul Qadim Zalloum, berikut ini, “Di antara bahaya yang paling mengerikan yang menimpa seluruh umat manusia, ialah ide kebebasan individu yang dibawa demokrasi. Ide ini telah mengakibatkan berbagai malapetaka secara universal, serta memerosotkan martabat masyarakat di negeri-negeri demokrasi sampai ke derajat yang lebih hina daripada derajat segerombolan binatang.”

Sebagaimana yang kita ketahui, demokrasi mewajibkan kebebasan berikut dijunjung tinggi-tinggi, yakni kebebasan berkeyakinan, kebebasan kepemilikan, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berekspresi. Ide kebebasan individu yang telah berhasil menjatuhkan manusia ke derajat hewan seperti yang dimaksud Syekh Zalloum di sini, adalah ide kebebasan berekspresi.

Di dalam Alquran, Allah yang Mahamulia berfirman, “Dan sungguh akan kami isi neraka jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tapi tidak digunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata, tapi tidak digunakan untuk melihat (tanda kekuasaan Allah), dan mereka memiliki telinga, tetapi tidak digunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (QS. Al A’raf ayat 179).

Ayat ini relevan sekali untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang diciptakan oleh ide kebebasan individu di dalam sebuah negara demokrasi ini. Konsep kebebasan individu akan memberikan peluang sebesar-besarnya kepada setiap orang untuk melakukan “apapun” yang mereka sukai, dengan hanya satu batasan, yakni tidak boleh mencederai kebebasan orang lain. Kira-kira seperti itulah asas dasar yang diterapkan oleh negara demokrasi hampir di seluruh dunia. Dan hal ini, seperti yang telah disampaikan oleh Syekh Zalloum dan surat Al A’raf di atas, telah menjatuhkan derajat manusia kepada derajat hewan ternak yang rendah.

Jika hewan ternak punya mata sehingga bisa melihat, maka manusia pun seperti itu. Jika hewan ternak memiliki telinga sehingga bisa mendengar, maka manusia pun begitu. Tapi ada sesuatu yang tidak dimiliki oleh hewan ternak sehingga membuat mereka menjadi makhluk yang rendah, mereka tidak memiliki akal dan hati yang bisa digunakan untuk berpikir, merenung, dan memerhatikan ayat-ayat Allah. Sementara manusia, selain memiliki mata dan telinga, Allah juga memberinya akal dan hati, yang karenanya manusia menjadi makhluk mulia dengan derajat yang tinggi.

Karena ketiadaan akal itu, hewan ternak bertindak hanya berdasarkan nalurinya (hawa nafsunya) saja. Hewan ternak bisa mengenal jenis makanan apa yang bisa ia makan, murni hanya karena insting (naluri) yang sudah built-in di dalam dirinya. Ia juga mengenal bagaimana caranya berhubungan intim dengan lawan jenisnya untuk berkembangbiak, murni hanya karena insting. Hewan ternak tidak bisa melawan insting alami ini. Tidak pernah kita temukan, misalnya, sapi berhubungan intim dengan kambing (bagaimana jadinya campuran sapi dan kambing? Jangan-jangan nama spesies baru ini jadi “sambing”).

Namun ide kebebasan individu ini sanggup membuat umat manusia melakukan hal-hal yang bahkan hewan ternak pun tidak pernah melakukannya. Karena ide ini, asal sama-sama senang dan tidak mengganggu orang lain, seorang lelaki dengan sesama lelaki bisa menikah dan berhubungan intim secara sah dan legal. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan hewan ternak sama sekali. Di negara-negara barat, undang-undang yang melegalkan pernikahan sesama jenis sudah sejak lama disahkan.

Seperti yang saya sebut di atas, kita tidak pernah menemukan ada sapi berhubungan seks dengan kambing. Tapi ada banyak manusia di luar sana yang berhubungan seks bukan dengan manusia, melainkan dengan binatang. Tindakan ini istilahnya beastiality atau zoophilia. Saya geleng-geleng kepala saat membaca tentang hal ini. Apa nggak jijik ngeseks sama binatang?

Tapi ternyata, seperti yang dilaporkan oleh vivanews, tindakan ini legal untuk dilakukan di Jerman sejak tahun 1969. Karena aturan ini, ada banyak rumah bordil hewan di Jerman. Namun komite pertanian Parlemen Jerman dan beberapa kelompok pecinta hewan mengajukan pelarangan tindakan ini karena diduga akan menyakiti binatang. Kebijakan ini ditentang keras oleh orang-orang yang suka ngeseks sama binatang, yang tergabung dalam Zeta (Zoophile Engagement for Tolerance and Information). Ketua organisasi ini, Michael Kiok, menyatakan akan mengajukan gugatan hukum jika undang-undang ini disahkan. Dia bilang ukuran tindakan penyiksaan binatang dalam hal ini sangat bias dan tidak jelas.

“Dasar keyakinan para zoophile (orang yang demen ngeseks dengan hewan) adalah tidak melakukan apa yang tidak ingin dilakukan binatang itu,” kata Kiok. “Binatang mampu menunjukkan apa yang mereka mau atau tidak mau. Saat saya melihat anjing saya, saya tahu apa yang dia mau. Binatang lebih mudah dimengerti ketimbang wanita.” Hehehe!!! Kasian banget ya kaum wanita yang sulit dimengerti.

Mestinya para zoophile ini dinobatkan sebagai penyayang binatang paling tulus, karena mereka tahu kapan dan bagaimana ciri-ciri ketika hewan piaraan mereka horni, dan dengan ikhlas mereka memenuhi hasrat terpendam hewan piaraan itu. Setres banget!!!

Tanggal 14 Desember 2012, Bundestag (parlemen tinggi Jerman) melakukan voting terkait dengan isu ini. Mungkin saja tindakan menjijikan ini sudah dilarang. Saya kurang tahu beritanya. Namun di Belgia, Denmark, dan Swedia, praktik ini dilegalkan.

Kembali kita renungkan apa yang disampaikan oleh Allah swt dalam Alquran, jika kita tidak mau menggunakan mata, telinga, serta akal dan hati kita untuk menemukan kebenaran Islam kemudian taat kepada semua aturannya, maka tentu saja derajat kita akan lebih rendah daripada semua hewan ternak, sapi, kambing, dan ba**. Na’uzubillahi min dzalik. Dan sekarang saatnya, umat Islam berhenti menyerukan, memperjuangkan, dan bergerak di dalam sistem sesat demokrasi. Sebab demokrasi jelas-jelas barang HARAM.

Oleh: Sayf Muhammad Isa
http://djenderal4arwah.wordpress.com/2013/11/19/seorang-syekh-dan-demokrasi/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengintip Dapur Pengabdi Cilok (Bagian 1)

Kaver novel terbaru saya: Pengabdi Cilok (Gramedia Pustaka Utama, Februari 2018) “Bagi Bone, cilok adalah separuh jiwanya. Apapun yang terjadi dalam hidupnya, harus berhubungan dengan cilok. Titik! Begitupun urusan nyari jodoh. Kalau cewek itu nggak jago bikin cilok, jangan harap bisa jadian sama Bone! Hihihi. Suatu hari, Bone berjumpa dengan sebungkus cilok di sekolah. Begitu dicicipi, emejing, rasa ciloknya juara banget! Edanlah pokoknya! Bone pun penasaran, siapa pemilik sekaligus pembuat cilok itu? Dengan dibantu temannya, Bone lalu mengadakan sayembara. Jika pemilik cilok ternyata cowok, bakal dikasih hadiah Iphone terbaru. Tapi, jika pemilik cilok ternyata cewek, bakal langsung dijadiin pacar sama Bone! Asyiik! Masalah jadi runyam ketika ternyata pembuat cilok itu janda beranak satu. Huwaaa! Jelas Bone jadi panik setengah mati. Apa kata dunia nanti? Bone pacaran sama emak-emak? Oh, tidaaak! Cilok membawa Bone pada kisah percintaan yang sungguh amburadul. Lan

Layaknya Bunga, Kita Memang Harus Bertumbuh dan Berkembang

Lebaran kali ini (2019), film yang paling saya tunggu adalah Ghost Writer besutan Bene Dion. Film ini bertema komedi horor, walau pada kenyataannya, sisi dramanya pun bisa dibilang cukup kental terasa. Sebelumnya, banyak yang keliru menyangka bahwa film ini adalah filmnya Ernest Prakasa. Padahal yang benar adalah Ernest justru di film ini bertindak selaku produser, bukan lagi sutradara seperti di film-film dia sebelumnya. Memang, pada perjalanannya, sebagai produser, Ernest juga banyak turut andil dalam proses editing pasca produksi. Namun, ketika ditanya, Ghost Writer itu film siapa? Ernest mantap menjawab bahwa GW adalah filmnya Bene Dion. Sekilas, film Ghost Writer bercerita tentang Naya yang harus pindah ke sebuah rumah tua bersama adiknya karena desakan ekonomi. Di rumah itu, Naya kemudian menemukan sebuah buku diari milik Galih, yang ternyata sudah meninggal, dan menjadi hantu penunggu rumah itu. Galih tidak terima buku diarinya dicuri. Akhirnya, demi sebuah proyek penu

Ratjoen Itu Bernama Materi dan Sanjung Puji

Gambar: http://www.portseo.web.id Beberapa pekan belakangan, jagad media sosial (terkhusus yang berkaitan dengan dunia literasi) ramai membahas kasus plagiarisme yang dilakukan seorang penulis (bolehlah dibilang muda) berinisial DE. Tidak tanggung-tanggung, puluhan cerpen dan beberapa novel (saya tidak punya data khusus, sumber hanya dari teman-teman penulis, pen)—yang hampir semua sudah dimuat di media massa dan terbit di beberapa penerbit nasional—terbukti hasil plagiat dari karya milik penulis lain. Entah apa motivasi dan alasan DE melakukan kejahatan ini, saya tak ingin membahasnya dalam tulisan ini. Yang jelas, bagi saya plagiarisme merupakan tindak kejahatan, sama seperti pencurian, korupsi, pemerkosaan, dan tindak kejahatan lain. Jika merujuk pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), plagiat memiliki arti pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya