Lebaran kali ini (2019), film yang
paling saya tunggu adalah Ghost Writer besutan Bene Dion. Film ini bertema
komedi horor, walau pada kenyataannya, sisi dramanya pun bisa dibilang cukup kental
terasa. Sebelumnya, banyak yang keliru menyangka bahwa film ini adalah filmnya
Ernest Prakasa. Padahal yang benar adalah Ernest justru di film ini bertindak
selaku produser, bukan lagi sutradara seperti di film-film dia sebelumnya.
Memang, pada perjalanannya, sebagai produser, Ernest juga banyak turut andil
dalam proses editing pasca produksi. Namun, ketika ditanya, Ghost Writer itu
film siapa? Ernest mantap menjawab bahwa GW adalah filmnya Bene Dion.
Sekilas, film Ghost Writer bercerita
tentang Naya yang harus pindah ke sebuah rumah tua bersama adiknya karena
desakan ekonomi. Di rumah itu, Naya kemudian menemukan sebuah buku diari milik
Galih, yang ternyata sudah meninggal, dan menjadi hantu penunggu rumah itu. Galih
tidak terima buku diarinya dicuri. Akhirnya, demi sebuah proyek penulisan
novel, Naya membujuk Galih agar mau menjadi Ghost Writer-nya, yang jalan
ceritanya diangkat berdasarkan buku diari Galih.
Yang menarik bagi saya, dalam film Ghost
Writer adalah menjelmanya Bene Dion menjadi seorang sutradara. Selama ini, saya
mengenal Bene sebagai seorang konsultan komedi dalam film-film Ernest
sebelumnya, seperti Cek Toko Sebelah dan Susah Sinyal. Menarik karena dalam dua
film Ernest tersebut, porsi komedi yang disajikan cukup pas dan segar. Dan bagi
saya, itu artinya, ketika Bene memutuskan untuk menyutradarai sendiri film ini,
sudah seharusnya Ghost Writer menyajikan kelucuan yang lebih meledak daripada
film-film Ernest sebelumnya.
Dan sesuai dengan harapan saya, bagi sebagian orang yang sudah menonton Ghost Writer, menyebut bahwa film ini bisa dibilang sukses menghibur penonton, baik dari sisi komedi, horor, bahkan dramanya. Dapet banget!
Jujur saja, saya termasuk orang yang
mengikuti film-film Ernest dan sepak terjangnya dalam dunia film Indonesia,
khususnya genre komedi. Saya suka caranya menyajikan komedi dalam sebuah film. Saya
banyak belajar dari potongan-potongan videonya yang membahas berbagai teknis
pembuatan film komedi. Sebagai penulis novel yang lahir dan besar dari rahim komedi,
saya seperti memiliki ketertarikan yang sama. Dan sekarang, ketika satu lagi
seorang sutradara komedi lahir, Bene Dion, saya merasakan semangat itu semakin menyala-nyala.
Dalam sebuah wawancara behind the scene film Ghost Writer,
dengan jantan Ernest menyebutkan bahwa film perdana Bene Dion ini jauh lebih
bagus daripada film perdana miliknya dulu, Ngenest. Artinya, Bene sukses
menjadikan dirinya bertumbuh dan berkembang selama ini. Sebagaimana Ernest juga
yang mengawali kariernya dari komika, lalu penulis, penulis skenario, kemudian
sutradara dan produser, begitu juga Bene Dion. Dia mengawali karier dari penulis,
lalu komika, konsultan komedi, kemudian hingga kini menyutradarai langsung
filmnya sendiri.
Semangat itu yang ingin saya tiru. Tahun
lalu, ketika sebuah PH tertarik dengan novel Pengabdi Cilok, saya ditawari oleh
produsernya untuk menulis sendiri skenarionya. Namun, kemudian dengan sadar
diri saya tolak. Hehe. Sejak saat itu, saya bertekad ingin belajar dan bisa
menulis skenario. Saya membeli banyak buku-buku tentang seluk beluk penulisan skenario.
Tak lain, agar suatu saat kelak, ketika ada lagi kesempatan novel saya untuk
difilmkan, saya bisa menuliskan
skenarionya sendiri. Atau entah suatu saat, jika memang ada jalannya dan takdir
mendukung, saya bisa menyutradarai film yang saya angkat dari novel yang saya
tulis sendiri. Siapa tahu?
Dalam hal apapun, dalam hidup ini,
layaknya bunga, kita memang harus senantiasa bertumbuh dan berkembang. Sebab
hanya jasad yang mati yang sudah tidak bisa lagi bertumbuh dan berkembang.
Komentar