Langsung ke konten utama

Buku "Kisah Pengantar Tidur 25 Nabi dan Rasul"



Sebutlah ini sebagai behind the scene, proses kreatif atau apalah itu, terserah. Suka-suka kamu. Yang penting harus dibaca sampai selesai, ya! Hehehe.
Jadi, sekitar pertengahan tahun ini (2017), saya membaca sebuah buku anak yang mengisahkan tentang kehidupan nabi-nabi. Saya tertarik membeli karena ada embel-embel gelar yang banyak di belakang nama penulisnya. Ditambah “janji” dalam poin-poin kelebihan buku tersebut, yang salah satunya tertulis: “Isi cerita diungkapkan berdasarkan Al-Qur’an dan referensi shahih”, di belakang sampulnya. Makin tertariklah saya.
Namun, setelah saya buka dan baca di rumah, ternyata isinya jauh dari apa yang saya harapkan, dan melenceng dari apa yang dijanjikan dalam poin-poin di sampul—setidaknya menurut saya. Saya “agak” kecewa. Bahasa penyajian yang terkesan lebih pas untuk orang dewasa ketimbang anak-anak. Referensi yang menurut saya gado-gado—antara mitos, kisah-kisah Israiliyyat, dan Al-Qur’an. Dan isi yang kurang dieksekusi dengan baik. Oh ya, juga ilustrasi yang menurut saya kurang oke (tapi, mungkin bagian ini relatif, tergantung selera pembaca).
Di tengah-tengah proses membaca, saya lantas berdiskusi dengan ibunya anak-anak. Saya bilang, “Kayaknya, suatu saat, aku harus nulis buku tentang kisah nabi-nabi untuk anak-anak, deh.”
“Kenapa memangnya?” tanya istri.
“Nggak puas aja sama buku ini. Minimal, kalau buku yang aku tulis nggak ada yang beli, bisa aku bacain sendiri buat Mata dan Binar (anak-anak kami),” sahut saya sambil tersenyum.
Istri mengangguk sambil balas tersenyum, “Sok atuh bikin.”
Qadarullah, selang beberapa waktu dari percakapaan itu, tepatnya bulan Juli, seorang kawan sekaligus editor dari penerbit NouraBooks, Kang Hadi, menyapa saya via messanger. Inti dari obrolan itu ialah beliau menawarkan saya untuk menulis buku tentang kisah nabi-nabi untuk anak-anak. Nanti judulnya: “Kisah Pengantar Tidur 25 Nabi dan Rasul”, kata Kang Hadi. Tanpa pikir tiga empat kali, saya langsung mengiyakan. Ini kesempatan gue untuk membayar segala keresahan gue, batin saya waktu itu.
Keesokkan harinya, saya diminta menyetor contoh tulisan. Dan, Alhamdulillah, sore harinya dapat kabar bahwa contoh tulisan saya disetujui Bu Bos. Horeee! Maka resmilah saya diberi mandat untuk mengerjakan proyek ini. Hehehe.
Yang pertama saya lakukan adalah mencari kitab Nabi-nabi Allah koleksi saya. Dengan kitab itu, ternyata saya masih merasa kurang pede—meski sebenarnya beberapa kisah nabi sudah ada yang menempel di kepala, karena sejak kecil sering diulang-ulang ceritanya oleh orang dewasa. Akhirnya, berburulah saya mencari satu set kitab tambahan milik Al-Hafizh Ibnu Katsir versi tahqiq.
Saya tidak sedang bertindak sebagai orang yang sok tahu atau paling tahu. Saya hanya menulis tentang apa yang menjadi keresahan saya terhadap buku kisah nabi-nabi untuk anak-anak yang banyak beredar—sependek yang telah saya baca. Banyak dari kisah yang ditulis berseberangan dengan apa yang saya yakini. Sebagai contoh, sejak kecil saya selalu diceritakan tentang kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang mencari Tuhan. Dan itu yang (masih) banyak ditulis di buku kisah-kisah nabi yang sekarang beredar. Sementara, setelah dewasa, hati saya bertanya-tanya: masak sih seorang nabi mencari Tuhan? Kisah ini tidak membuat saya puas hati.
Dan pertanyaan itu akhirnya terjawab ketika saya mendengar kajian seorang guru bahwa yang sebenarnya kisah itu menceritakan perdebatan Nabi Ibrahim dengan kaum penyembah bintang. Dengan gaya satire, Nabi Ibrahim menyindir kaumnya itu melalui percakapan-percakapan pencariannya akan Tuhan. Jadi, bukan Nabi Ibrahim yang mencari Tuhan dalam arti sebenarnya. Dan, kisah itu ternyata benar dijelaskan dalam kitab Ibnu Katsir.
Lain contoh, sejak kecil saya selalu dikisahkan tentang Nabi Ayub ‘alaihissalam yang menderita penyakit kulit aneh, yang ciri-cirinya begini dan begitu. Dan kisah ini pun masih banyak tertuang di buku kisah nabi-nabi untuk anak-anak sekarang. Sementara, setelah dewasa, saya mendengar dari seorang guru bahwa Al-Qur’an tidak pernah menyebut jenis penyakit apa yang diderita Nabi Ayub. Al-Qur’an hanya menjelaskan bahwa penyakit yang diderita Nabi Ayub belum pernah diderita orang sebelumnya, dan tidak akan pernah diderita orang sesudahnya. Itu saja. Dan saya pun tidak menemukan kisah seperti itu di dalam kitab-kitab para ulama.
Saya jadi berpikir, lantas dari mana kisah-kisah karangan itu berasal?
Itu baru dua contoh. Sementara masih banyak kisah-kisah lain, yang ternyata, setelah saya pelajari banyak berasal dari mitos-mitos dan cerita-cerita Israiliyyat. Atau, ketika saya menemukan pendapat lain tentang mata air zamzam. Selama ini, kita tahu bahwa air zamzam berasal dari tanah bekas hentakan kaki Nabi Ismail yang menangis kehausan saat masih bayi. Sementara, dalam kitab Ibnu Katsir, ada pendapat yang mengatakan bahwa air zamzam berasal dari tanah yang digali malaikat menggunakan sayapnya. Dan menurut seorang guru, pendapat kedua ini yang lebih kuat. Allahu a’lam. Di luar dari pendapat mana yang lebih kuat, saya coba menyajikan kisah lain yang (mungkin) masih belum banyak disajikan dalam buku kisah-kisah nabi yang saat ini banyak beredar.
Terakhir, berangkat dari keresahan itulah kemudian saya ingin menulis buku kisah nabi-nabi untuk anak-anak. Minimal, seperti yang saya bilang di atas, saya bisa menyajikan buku ini nantinya bagi anak-anak saya, sesuai dengan apa yang saya yakini dan pelajari, dan (ini paling penting) bersumber dari kitab rujukan yang kuat. Itu saja.
Kang Hadi, selaku editor buku Kisah Pengantar Tidur 25 Nabi dan Rasul pernah menulis: Buku anak mungkin memang terkesan sepele dan terlihat seperti bisa ditulis begitu saja tanpa perlu berkeringat melakukan riset. Padahal, mau buku anak maupun umum, sumber itu penting dan tidak bisa diabaikan begitu saja. Apalagi jika itu adalah buku anak Islam, yang sudah semestinya ditulis dengan sangat hati-hati dan tidak asal comot sumber sembarangan. Dan, saya sepakat!
Dan, Alhamdulillah, saat ini buku Kisah Pengantar Tidur 25 Nabi dan Rasul sudah masuk dalam proses ilustrasi. Semoga lancar proses pengerjaannya sampai tiba waktunya terbit nanti. 😊

Salam,
Irvan Aqila 
*seorang ayah rumah tangga yang ingin menghadirkan buku-buku baik untuk anak-anaknya

Komentar

Noor H. Dee mengatakan…
Mantap! Seru kalau baca proses kreatif kayak begini. Semoga segalanya lancar dan diberi keberkahan. Aamiin.
Irvan Aqila mengatakan…
Aamiin, Pak Editor! :)
anisa mengatakan…
saya menunggu bukunya terbit, buku ini sepertinya tidak hanya bagus untuk anak-anak, tapi juga orang dewasa :)
Unknown mengatakan…
Saya mau antri jadi 10 orang pertama yang membacakan buku ini sebagai pengantar tidur Ammar.
Irvan Aqila mengatakan…
Insya Allah, mohon doanya ya mbak Anisa. Semoga kelak buku ini bermanfaat bagi siapapun yang membaca. :)
Irvan Aqila mengatakan…
Insya Allah, mbak Agustin Ernawati. Akan ada kabar selanjutnya jika bukunya sudah terbit.
Ryu Tri mengatakan…
Semoga Alloh memudahkan segalanya. Yakin Alloh akan menggantikan bermalam-malam deadline ditemani kondisi fisik tak stabil dengan ending yang istimewa.

Semangaaaat!��

Postingan populer dari blog ini

Mengintip Dapur Pengabdi Cilok (Bagian 1)

Kaver novel terbaru saya: Pengabdi Cilok (Gramedia Pustaka Utama, Februari 2018) “Bagi Bone, cilok adalah separuh jiwanya. Apapun yang terjadi dalam hidupnya, harus berhubungan dengan cilok. Titik! Begitupun urusan nyari jodoh. Kalau cewek itu nggak jago bikin cilok, jangan harap bisa jadian sama Bone! Hihihi. Suatu hari, Bone berjumpa dengan sebungkus cilok di sekolah. Begitu dicicipi, emejing, rasa ciloknya juara banget! Edanlah pokoknya! Bone pun penasaran, siapa pemilik sekaligus pembuat cilok itu? Dengan dibantu temannya, Bone lalu mengadakan sayembara. Jika pemilik cilok ternyata cowok, bakal dikasih hadiah Iphone terbaru. Tapi, jika pemilik cilok ternyata cewek, bakal langsung dijadiin pacar sama Bone! Asyiik! Masalah jadi runyam ketika ternyata pembuat cilok itu janda beranak satu. Huwaaa! Jelas Bone jadi panik setengah mati. Apa kata dunia nanti? Bone pacaran sama emak-emak? Oh, tidaaak! Cilok membawa Bone pada kisah percintaan yang sungguh amburadul. Lan

Layaknya Bunga, Kita Memang Harus Bertumbuh dan Berkembang

Lebaran kali ini (2019), film yang paling saya tunggu adalah Ghost Writer besutan Bene Dion. Film ini bertema komedi horor, walau pada kenyataannya, sisi dramanya pun bisa dibilang cukup kental terasa. Sebelumnya, banyak yang keliru menyangka bahwa film ini adalah filmnya Ernest Prakasa. Padahal yang benar adalah Ernest justru di film ini bertindak selaku produser, bukan lagi sutradara seperti di film-film dia sebelumnya. Memang, pada perjalanannya, sebagai produser, Ernest juga banyak turut andil dalam proses editing pasca produksi. Namun, ketika ditanya, Ghost Writer itu film siapa? Ernest mantap menjawab bahwa GW adalah filmnya Bene Dion. Sekilas, film Ghost Writer bercerita tentang Naya yang harus pindah ke sebuah rumah tua bersama adiknya karena desakan ekonomi. Di rumah itu, Naya kemudian menemukan sebuah buku diari milik Galih, yang ternyata sudah meninggal, dan menjadi hantu penunggu rumah itu. Galih tidak terima buku diarinya dicuri. Akhirnya, demi sebuah proyek penu

Ratjoen Itu Bernama Materi dan Sanjung Puji

Gambar: http://www.portseo.web.id Beberapa pekan belakangan, jagad media sosial (terkhusus yang berkaitan dengan dunia literasi) ramai membahas kasus plagiarisme yang dilakukan seorang penulis (bolehlah dibilang muda) berinisial DE. Tidak tanggung-tanggung, puluhan cerpen dan beberapa novel (saya tidak punya data khusus, sumber hanya dari teman-teman penulis, pen)—yang hampir semua sudah dimuat di media massa dan terbit di beberapa penerbit nasional—terbukti hasil plagiat dari karya milik penulis lain. Entah apa motivasi dan alasan DE melakukan kejahatan ini, saya tak ingin membahasnya dalam tulisan ini. Yang jelas, bagi saya plagiarisme merupakan tindak kejahatan, sama seperti pencurian, korupsi, pemerkosaan, dan tindak kejahatan lain. Jika merujuk pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), plagiat memiliki arti pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya