Langsung ke konten utama

Mengintip Dapur Pengabdi Cilok (Bagian 1)

Kaver novel terbaru saya: Pengabdi Cilok (Gramedia Pustaka Utama, Februari 2018)


“Bagi Bone, cilok adalah separuh jiwanya. Apapun yang terjadi dalam hidupnya, harus berhubungan dengan cilok. Titik! Begitupun urusan nyari jodoh. Kalau cewek itu nggak jago bikin cilok, jangan harap bisa jadian sama Bone! Hihihi.
Suatu hari, Bone berjumpa dengan sebungkus cilok di sekolah. Begitu dicicipi, emejing, rasa ciloknya juara banget! Edanlah pokoknya! Bone pun penasaran, siapa pemilik sekaligus pembuat cilok itu? Dengan dibantu temannya, Bone lalu mengadakan sayembara. Jika pemilik cilok ternyata cowok, bakal dikasih hadiah Iphone terbaru. Tapi, jika pemilik cilok ternyata cewek, bakal langsung dijadiin pacar sama Bone! Asyiik!
Masalah jadi runyam ketika ternyata pembuat cilok itu janda beranak satu. Huwaaa! Jelas Bone jadi panik setengah mati. Apa kata dunia nanti? Bone pacaran sama emak-emak? Oh, tidaaak! Cilok membawa Bone pada kisah percintaan yang sungguh amburadul.
Lantas, bagaimana cara Bone melepaskan diri dari kisah serba menegangkan ini? Dan bagaimana pula nasib Nadine, cewek manis yang diam-diam jatuh cinta sama Bone, tapi nggak bisa bikin cilok?
Selamat membaca, wahai para pengabdi cilok!”

Cuplikan di atas merupakan blurb atau penjelasan singkat tentang isi novel Pengabdi Cilok yang mejeng di kaver belakang. Penasaran cerita lengkapnya? Buruan beliii novelnya! Hari Senin harga naik, lho. Hihihi.
Sedikit cerita tentang novel terbaru saya (dan Kang Iwok) ini. Well, bisa dibilang, Pengabdi Cilok merupakan novel dengan proses terbit paling kilat sepanjang sejarah karier kepenulisan saya. Serius! Gimana nggak kilat, dari mulai kirim naskah sampai terbit, cuma makan waktu kurang lebih dua bulan gitu, deh. Canggih, kan? Padahal, novel ini terbit di Gramedia Pustaka Utama (GPU), lho! Salah satu penerbit di Indonesia yang—biasanya—punya jadwal antri terbit paling luammaaa.
Penggarapan novel ini berawal dari sebuah pesan Whatsapp yang nongol di ponsel jadul milik saya suatu hari.
“Van, mau duet nulis novel komedi, nggak? Aku ada pesanan, nih. Dan, kayaknya nggak bakal kekejar kalau cuma dikerjain sendiri, coz deadline-nya mepet banget.”
Begitu kurang lebih isi pesan Kang Iwok, salah satu penulis spesialis yang lucu-lucu, yang berasal masih satu kota dengan Caca Handika, Tasikmalaya (Duile, Caca Handika. Ketahuan deh saya anak zaman kapan). Tanpa pikir panjang, saya langsung mengiyakan. Alasannya sederhana: Pertama, udah lama banget saya kepengin bikin buku komedi duet bareng sama doi. Kedua, temanya yang sungguh aduhai, tentang cilok! Pas dikasih tau judul dan temanya aja, saya langsung ngikik-ngikik sendiri. Ini sungguh sebuah tema terabsurd yang pernah saya dengar! Hahaha. Terbayang di kepala bakal seseru dan sebodor apa ceritanya nanti. Oya, FYI, awalnya naskah ini kami beri judul Ada Apa Dengan Cilok?. Proses perubahan judul, nanti saya ceritakan di bawah, ya.
Tanpa buang waktu, kami langsung mulai proses pengerjaan naskah, setelah sebelumnya ngobrol ngalor-ngidul via Whatsapp mengenai tokoh, alur cerita, setting dan segala macam printilan-printilannya. Saat itu, kami berlomba dengan jadwal rilis film Ada Apa Dengan Cinta 2, yang kira-kira sebulan lagi bakal turun tayang. Semacam ngejar momen gitu, deh.
Kang Iwok bilang, “Sok, Van, kamu duluan yang mulai. Kebetulan saya masih ada PR nulis yang harus cepat dikerjakan.”
Siapa takut? Dengan mengucap Bismillah, dan mengikat serbet di kepala tanda perjuangan dimulai, saya pun mulai menulis. Entah kenapa, semua mengalir dengan begitu ringan. Tak butuh waktu lama, saya sudah berhasil menyelesaikan satu bab pembuka.
Setelah itu, satu bab yang telah selesai itu pun langsung  saya lempar ke Kang Iwok untuk diteruskan. Begitu kira-kira alur penulisannya. Dapat satu bab lempar, dapat satu bab lempar (kalau dapat duit jangan! Keenakkan Kang Iwok, dong!).
Akan tetapi … kira-kira beres bab empat, tiba-tiba aja proses penulisan mandek alias macet cet cet! Ditambah faktor hari-hari kami yang memang sibuk banget (asiiik). Kami sempat kalang kabut. Wah, gimana, nih? Sementara deadline makin dekat. Ohh, tidaaak! Sialnya, semakin dirundung panik, otak kami serasa makin buntu. Nggak mau diajak mikir sama sekali. Ide seolah pamit entah ke mana.
Deg! Alhasil, mangkraklah proyek novel ini di tengah jalan. Huhuhu. Pada akhirnya, kami dengan sangat menyesal harus melambaikan sehelai kain kerudung warna putih sebagai tanda menyerah dengan tampang lemas. Kami merasa, semakin dibayang-bayangi deadline, semakin nggak bagus ceritanya dan terkesan asal-asalan. Akhirnya, kami putuskan untuk menyimpan naskah ini sementara waktu. Urusan lapor melapor dengan pemesan naskah, biar itu jadi urusan Kang Iwok. Hihihi.
Sejak saat itu, kami berdua melanjutkan hidup masing-masing. Saya bilang ke Kang Iwok, “Kayaknya, kita memang nggak jodoh, Om. Kita harus berpisah sampai di sini. Maaf kalau selama kebersamaan kita, hati Om banyak terluka.” Eh, sebenernya ini lagi ngebahas apa sih? :D
Waktu berlalu, dan titik terang tentang kelanjutan naskah ini belum terbayang sama sekali.
Sampai kemudian, di suatu hari yang ceria (saya lupa hari apa), Kang Iwok nyapa dan nanya-nanya tentang naskah duet ini. Obrol punya obrol, kami berencana meneruskan pengerjaannya. Yes, kebetulan saya juga lagi semangat melucu, karena kondisi dompet saat itu sedang sehat (eh, beneran ini serius loh. Ternyata kemampuan melucu saya berbanding lurus dengan keadaan isi dompet, hihi. Iyalah, orang lagi bokek dijamin susah suruh ngelucu. Cobain, deh!).
Singkat cerita, dapat sebulan berjalan, naskah itu akhirnya selesai dan beres (nah, apa saya bilang, orang melucu itu butuh ketenangan dari sisi dompet :D). Setelah dandan dikit-dikit, kami sepakat untuk mengajukan naskah itu ke editor Gramedia Pustaka Utama kesayangan kami. Dan, demi mendukung proses rayu merayu, Kang Iwok lantas membuat grup Whatsapp yang isinya kami bertiga; saya, Kang Iwok, dan Kak Editor (selanjutnya disebut Kak Bunga, hahaha, mudah-mudahan orangnya nggak baca).
Mulai dari sini perjalanan naskah Pengabdi Cilok dimulai … (Bersambung)

Hahaha. Doakan saya tidak lupa menulis bagian keduanya, ya! Dadaaah! Oh, ya, jangan lupa baca buku hari ini, ya!

Komentar

Bang Joo mengatakan…
Keren bang mantap
Bang Joo mengatakan…
kunjungin balik ya bang sahabatpena96.blogspot.com
https://sahabatpena96.blogspot.co.id/2018/05/lomba-menulis-puisi.html

Postingan populer dari blog ini

Layaknya Bunga, Kita Memang Harus Bertumbuh dan Berkembang

Lebaran kali ini (2019), film yang paling saya tunggu adalah Ghost Writer besutan Bene Dion. Film ini bertema komedi horor, walau pada kenyataannya, sisi dramanya pun bisa dibilang cukup kental terasa. Sebelumnya, banyak yang keliru menyangka bahwa film ini adalah filmnya Ernest Prakasa. Padahal yang benar adalah Ernest justru di film ini bertindak selaku produser, bukan lagi sutradara seperti di film-film dia sebelumnya. Memang, pada perjalanannya, sebagai produser, Ernest juga banyak turut andil dalam proses editing pasca produksi. Namun, ketika ditanya, Ghost Writer itu film siapa? Ernest mantap menjawab bahwa GW adalah filmnya Bene Dion. Sekilas, film Ghost Writer bercerita tentang Naya yang harus pindah ke sebuah rumah tua bersama adiknya karena desakan ekonomi. Di rumah itu, Naya kemudian menemukan sebuah buku diari milik Galih, yang ternyata sudah meninggal, dan menjadi hantu penunggu rumah itu. Galih tidak terima buku diarinya dicuri. Akhirnya, demi sebuah proyek penu

Ratjoen Itu Bernama Materi dan Sanjung Puji

Gambar: http://www.portseo.web.id Beberapa pekan belakangan, jagad media sosial (terkhusus yang berkaitan dengan dunia literasi) ramai membahas kasus plagiarisme yang dilakukan seorang penulis (bolehlah dibilang muda) berinisial DE. Tidak tanggung-tanggung, puluhan cerpen dan beberapa novel (saya tidak punya data khusus, sumber hanya dari teman-teman penulis, pen)—yang hampir semua sudah dimuat di media massa dan terbit di beberapa penerbit nasional—terbukti hasil plagiat dari karya milik penulis lain. Entah apa motivasi dan alasan DE melakukan kejahatan ini, saya tak ingin membahasnya dalam tulisan ini. Yang jelas, bagi saya plagiarisme merupakan tindak kejahatan, sama seperti pencurian, korupsi, pemerkosaan, dan tindak kejahatan lain. Jika merujuk pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), plagiat memiliki arti pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya