Langsung ke konten utama

Maafkan Saya

   Betapa banyak pelajaran yang berserak di hadapan hidung kita. Andai saja sedikit mau bersusah payah memungutnya. Niscaya menjadi bekal dalam mengarungi samudera kehidupan.
    Sungguh terdapat nasihat dari peristiwa calon hakim agung yang beberapa malam lalu, yang karena lisannya tak terjaga, ia menyakiti banyak hati di muka bumi ini. Atau dari kicauan seorang pengacara yang digadang-gadang akan mencalonkan diri sebagai pemimpin negeri ini, namun sayang lisannya tak lebih baik dari seorang pendengki.
    Empat belas abad yang lalu, Abu Dzar Al-Ghifari pernah sangat merasa hina dan berdosa di hadapan seorang bernama Bilal ibn Rabah. Ketika dalam emosi, ia kalah oleh nafsunya dan sempat memaki sahabatnya itu. "Hai, anak budak Hitam!" teriaknya. Bermula dari kekesalannya terhadap Bilal yang dianggapnya tak mampu mengerjakan amanah dengan utuh, bahkan sahabatnya itu seakan membuat alasan untuk membenarkan dirinya sendiri.

                                                                              ***
  
    "Injak kepalaku ini, hai Bilal! Demi Allah, kumohon injaklah!" begitu Abu Dzar memohon, seraya meletakkan kepalanya di atas tanah berdebu, dan melumurkannya dengan pasir saat menyadari kekhilafannya. "Kumohon Bilal saudaraku, injaklah wajahku. Demi Allah, aku berharap dengannya Allah akan mengampuniku, dan menghapus sifat jahiliyah dari jiwaku."
    Bilal bergeming. Dia marah, tapi juga haru. Mata beningnya berkaca-kaca. Kepalanya terus menggeleng. Dan ketika Rasulullah menegur Abu Dzar, Bilal berkata terisak, "Aku memaafkan Abu Dzar, ya Rasulullah. Biarlah urusan ini tersimpan di sisi Allah, dan menjadi kebaikan bagiku kelak."
    Betapa Abu Dzar merasakan hatinya perih. Alangkah lebih ringan andai semua dapat ditebusnya di dunia.
    Demikianlah Abu Dzar, sahabat Rasulullah yang mulia. Ingin sekali ia menangis. Menyesal. Sedih. Takut. Marah pada diri sendiri. Bergumul jadi satu. Betapa ia merasa lemah berhadapan dengan hawa nafsunya. Bahkan sekadar menahan dari lisan yang menyerang tajam.
    Sementara hari ini, dengan segala kelemahan dan kealpaan dalam menjaga hubungan dengan sesama, mungkin kita (terlebih saya) lebih pantas menangis karena lisan ini yang seringkali sinis dan menyakiti.
   Jaga lisan, jaga lisan, jaga lisan.
   Maafkan saya.

   Bumi Allah, Januari 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengintip Dapur Pengabdi Cilok (Bagian 1)

Kaver novel terbaru saya: Pengabdi Cilok (Gramedia Pustaka Utama, Februari 2018) “Bagi Bone, cilok adalah separuh jiwanya. Apapun yang terjadi dalam hidupnya, harus berhubungan dengan cilok. Titik! Begitupun urusan nyari jodoh. Kalau cewek itu nggak jago bikin cilok, jangan harap bisa jadian sama Bone! Hihihi. Suatu hari, Bone berjumpa dengan sebungkus cilok di sekolah. Begitu dicicipi, emejing, rasa ciloknya juara banget! Edanlah pokoknya! Bone pun penasaran, siapa pemilik sekaligus pembuat cilok itu? Dengan dibantu temannya, Bone lalu mengadakan sayembara. Jika pemilik cilok ternyata cowok, bakal dikasih hadiah Iphone terbaru. Tapi, jika pemilik cilok ternyata cewek, bakal langsung dijadiin pacar sama Bone! Asyiik! Masalah jadi runyam ketika ternyata pembuat cilok itu janda beranak satu. Huwaaa! Jelas Bone jadi panik setengah mati. Apa kata dunia nanti? Bone pacaran sama emak-emak? Oh, tidaaak! Cilok membawa Bone pada kisah percintaan yang sungguh amburadul. Lan

Layaknya Bunga, Kita Memang Harus Bertumbuh dan Berkembang

Lebaran kali ini (2019), film yang paling saya tunggu adalah Ghost Writer besutan Bene Dion. Film ini bertema komedi horor, walau pada kenyataannya, sisi dramanya pun bisa dibilang cukup kental terasa. Sebelumnya, banyak yang keliru menyangka bahwa film ini adalah filmnya Ernest Prakasa. Padahal yang benar adalah Ernest justru di film ini bertindak selaku produser, bukan lagi sutradara seperti di film-film dia sebelumnya. Memang, pada perjalanannya, sebagai produser, Ernest juga banyak turut andil dalam proses editing pasca produksi. Namun, ketika ditanya, Ghost Writer itu film siapa? Ernest mantap menjawab bahwa GW adalah filmnya Bene Dion. Sekilas, film Ghost Writer bercerita tentang Naya yang harus pindah ke sebuah rumah tua bersama adiknya karena desakan ekonomi. Di rumah itu, Naya kemudian menemukan sebuah buku diari milik Galih, yang ternyata sudah meninggal, dan menjadi hantu penunggu rumah itu. Galih tidak terima buku diarinya dicuri. Akhirnya, demi sebuah proyek penu

Ratjoen Itu Bernama Materi dan Sanjung Puji

Gambar: http://www.portseo.web.id Beberapa pekan belakangan, jagad media sosial (terkhusus yang berkaitan dengan dunia literasi) ramai membahas kasus plagiarisme yang dilakukan seorang penulis (bolehlah dibilang muda) berinisial DE. Tidak tanggung-tanggung, puluhan cerpen dan beberapa novel (saya tidak punya data khusus, sumber hanya dari teman-teman penulis, pen)—yang hampir semua sudah dimuat di media massa dan terbit di beberapa penerbit nasional—terbukti hasil plagiat dari karya milik penulis lain. Entah apa motivasi dan alasan DE melakukan kejahatan ini, saya tak ingin membahasnya dalam tulisan ini. Yang jelas, bagi saya plagiarisme merupakan tindak kejahatan, sama seperti pencurian, korupsi, pemerkosaan, dan tindak kejahatan lain. Jika merujuk pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), plagiat memiliki arti pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya