Langsung ke konten utama

Ratjoen Itu Bernama Materi dan Sanjung Puji



Gambar: http://www.portseo.web.id

Beberapa pekan belakangan, jagad media sosial (terkhusus yang berkaitan dengan dunia literasi) ramai membahas kasus plagiarisme yang dilakukan seorang penulis (bolehlah dibilang muda) berinisial DE. Tidak tanggung-tanggung, puluhan cerpen dan beberapa novel (saya tidak punya data khusus, sumber hanya dari teman-teman penulis, pen)—yang hampir semua sudah dimuat di media massa dan terbit di beberapa penerbit nasional—terbukti hasil plagiat dari karya milik penulis lain.

Entah apa motivasi dan alasan DE melakukan kejahatan ini, saya tak ingin membahasnya dalam tulisan ini. Yang jelas, bagi saya plagiarisme merupakan tindak kejahatan, sama seperti pencurian, korupsi, pemerkosaan, dan tindak kejahatan lain.

Jika merujuk pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), plagiat memiliki arti pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakan. Plagiat berubah menjadi sebuah tindak kejahatan besar ketika hasil plagiat dikomersilkan/dimanfaatkan untuk meraih keuntungan materi Si Plagiator.

Saya mulai menapaki dunia tulis menulis sejak 2004—meski novel pertama saya baru terbit di tahun 2007. Sejak novel pertama saya terbit, tak bisa dipungkiri berbagai tepuk tangan, sanjung puji, dan sedikit materi, mulai menghampiri kehidupan saya. Waktu itu, usia saya sekitar 21 tahun, dan untuk anak muda seusia itu, rasa-rasanya tak ada lagi hal yang paling melenakan selain guyuran materi dan eksistensi. Kendati materi yang didapat memang belum seberapa. Namun, bisa membeli handphone yang saat itu begitu didamba menggunakan hasil uang dari menulis, sukses membuat saya cukup bahagia. Belum lagi, kalimat-kalimat pujian yang datang dari orang-orang sekitar, membuat saya makin ketagihan dan merasa eksis.

Tapi, itu dulu … ketika motivasi utama saya menulis masih berkutat dalam lingkaran materi dan eksistensi semata. Seiring berjalan waktu dan semakin dewasa, motivasi dan tujuan saya menulis mulai bergeser dan berubah. Saya merasa dengan menulis saya punya kesempatan untuk menimba pahala. Dan, sebagaimana konsep pahala, ia tidak akan mungkin dicapai kecuali dengan aktivitas ibadah. Jadi, bagi saya menulis adalah sebuah proses ibadah. Terserah, mungkin orang lain atau penulis lain punya arti masing-masing dalam mendefinisikan kegiatan menulis. Ada yang menyebut menulis merupakan terapi jiwa, menulis merupakan kegiatan dalam rangka membahagiakan diri sendiri, dan lain sebagainya. Sah-sah saja.

Balik ke motivasi dan tujuan menulis. Saya berani bilang, bahwa penulis yang melakukan tindak plagiarisme itu adalah penulis yang hanya mengharap materi dan sanjung puji. Seyakin itukah saya? Ya, saya yakin. Sebab jika bukan dua itu, apalagi motivasi dan tujuannya menulis? Sebagai terapi jiwa? Tidak mungkin. Terapi jiwa macam apa yang ritual prosesnya menggunakan bahan hasil curian? Beri tahu saya jiwa seperti apa yang bisa tenang ketika dibersihkan dengan bahan hasil curian? Bukannya tenang, yang ada jiwa itu malah akan terus gelisah dan meranggas, untuk kemudian mati lama-kelamaan. Percaya saya. Seperti halnya seorang koruptor yang takkan tenang hidupnya, kendati dari luar ia tampak begitu bahagia karena dikelilingi kenikmatan harta kekayaan. Sekali lagi, saya tidak sedang membahas motivasi dan alasan DE. Saya membahas motivasi dan alasan tindak plagiarisme secara umum.

Saya jadi teringat sebuah lirik lagu yang ditulis seorang kawan lama saya. Dalam liriknya, dia bersyair, 

Mengharap sanjung puji hanyalah perbuatan orang-orang tidak terpuji.

Kurang lebih begitu. Saya setuju. Bagi saya, belaian materi dan sanjung puji adalah racun. Dan sebagaimana sifat racun, ia takkan pernah menjadi manfaat, apalagi obat, bagi kita yang terpapar olehnya.

Fiersa Besari, seorang musisi sekaligus penulis yang sedang naik daun, juga pernah berkata, “Jangan menulis karena hanya ingin diterbitkan dan ingin terkenal. Itu hanya akibat, bukan tujuan. Menulislah untuk berbagi apa yang kita pikirkan dan apa yang kita rasakan.” Kurang lebih begitu. Ini pun saya setuju sekali. Tentu berbagi kepada orang lain dengan sesuatu hasil curian takkan pernah bisa membuat hati kita merasa bahagia dan puas. Betul begitu?

Lalu, jika dikaitkan dengan prinsip saya bahwa menulis adalah sebuah proses ibadah, tentu “berbagi” pun bisa dikatakan sebagai proses ibadah bukan? Dan berbagi yang dapat berbuah pahala adalah berbagi dengan sesuatu yang kita miliki, bukan dengan sesuatu milik orang lain yang kita curi.

Sepakat, ya? Jika tidak pun tak apa. 😊

Salam,
Irvan Aqila
*penulis main-main

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengintip Dapur Pengabdi Cilok (Bagian 1)

Kaver novel terbaru saya: Pengabdi Cilok (Gramedia Pustaka Utama, Februari 2018) “Bagi Bone, cilok adalah separuh jiwanya. Apapun yang terjadi dalam hidupnya, harus berhubungan dengan cilok. Titik! Begitupun urusan nyari jodoh. Kalau cewek itu nggak jago bikin cilok, jangan harap bisa jadian sama Bone! Hihihi. Suatu hari, Bone berjumpa dengan sebungkus cilok di sekolah. Begitu dicicipi, emejing, rasa ciloknya juara banget! Edanlah pokoknya! Bone pun penasaran, siapa pemilik sekaligus pembuat cilok itu? Dengan dibantu temannya, Bone lalu mengadakan sayembara. Jika pemilik cilok ternyata cowok, bakal dikasih hadiah Iphone terbaru. Tapi, jika pemilik cilok ternyata cewek, bakal langsung dijadiin pacar sama Bone! Asyiik! Masalah jadi runyam ketika ternyata pembuat cilok itu janda beranak satu. Huwaaa! Jelas Bone jadi panik setengah mati. Apa kata dunia nanti? Bone pacaran sama emak-emak? Oh, tidaaak! Cilok membawa Bone pada kisah percintaan yang sungguh amburadul. Lan

Layaknya Bunga, Kita Memang Harus Bertumbuh dan Berkembang

Lebaran kali ini (2019), film yang paling saya tunggu adalah Ghost Writer besutan Bene Dion. Film ini bertema komedi horor, walau pada kenyataannya, sisi dramanya pun bisa dibilang cukup kental terasa. Sebelumnya, banyak yang keliru menyangka bahwa film ini adalah filmnya Ernest Prakasa. Padahal yang benar adalah Ernest justru di film ini bertindak selaku produser, bukan lagi sutradara seperti di film-film dia sebelumnya. Memang, pada perjalanannya, sebagai produser, Ernest juga banyak turut andil dalam proses editing pasca produksi. Namun, ketika ditanya, Ghost Writer itu film siapa? Ernest mantap menjawab bahwa GW adalah filmnya Bene Dion. Sekilas, film Ghost Writer bercerita tentang Naya yang harus pindah ke sebuah rumah tua bersama adiknya karena desakan ekonomi. Di rumah itu, Naya kemudian menemukan sebuah buku diari milik Galih, yang ternyata sudah meninggal, dan menjadi hantu penunggu rumah itu. Galih tidak terima buku diarinya dicuri. Akhirnya, demi sebuah proyek penu