![]() |
Gambar: rid-1-syah.blogspot.co.id |
Beberapa bulan lalu (14/01) Indonesia—khususnya Jakarta—kembali diguncang teror dengan serangkaian kejadian berupa ledakan dan penembakan yang dilakukan oleh sekelompok orang. Entah apa motif di balik serangkaian aksi tersebut, yang pasti kejadian ini cukup membetot banyak perhatian masyarakat dalam negeri, juga dunia internasional. Beberapa orang dilaporkan menjadi korban, baik korban meninggal dunia maupun luka-luka.
Kata “teror” jika menilik dari KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) berarti usaha menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Dari sini kita dapat menarik kesimpulan dan sepakat, bahwa apapun bentuk aksi dan motif yang melatar-belakangi sebuah perbuatan, jika itu mampu membuat masyarakat atau orang lain ketakutan, merasa ngeri atau trauma, bisa dikategorikan sebagai teror.
Setuju? Belum tentu.
Karena di bumi ini, bumi yang sama-sama kita tempati dan tinggali, arti dan makna teror sudah sedikit berubah dan melenceng dari semestinya. Teror berarti usaha menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seseorang atau golongan YANG BERAGAMA ISLAM. Lantas bagaimana jika pelaku teror tersebut bukan orang atau golongan yang beragama Islam? Bahkan sebuah negara adidaya? Ya, belum tentu disebut TERORIS. Bisa jadi justru disebut dan dianggap sebagai pahlawan, kendati kelakuan dan gerak-geriknya cukup membuat takut, ngeri, trauma bahkan frustasi ORANG SATU NEGERI.
Tapi, ya sudahlah. Lupakan cerita tentang pahlawan yang acapkali membuat orang satu negeri menderita itu. Karena sekeren dan sekeras apapun kita berteriak dan menuntut keadilan, mereka takkan pernah bisa disebut sebagai teroris. Percayalah.
Ada sisi lebih menarik untuk kita kulik dari kejadian teror beberapa bulan lalu di Jakarta. Mulai dari masyarakat yang berbondong-bondong menonton aksi teror, adu tembak polisi-polisi gagah nan keren dengan beberapa orang pelaku teror, tukang sate yang tetap berjualan di tengah hiruk-pikuk teror, aparat yang sempat membeli rujak mangga di tengah kondisi berjaga dalam situasi teror, kelakuan pelaku selfie garis keras di tengah suasana teror, sampai penanda aras “KAMI TIDAK TAKUT” yang ramai dijadikan slogan—baik di dunia nyata maupun maya.
Fenomena terakhir memang cukup menarik sekaligus menggelitik. Mungkin benar sebagian orang memang tak lantas menjadi takut dengan aksi teror yang terjadi di Jakarta kemarin. Sehingga dengan gagah berani mereka sanggup meneriakkan atau menulis slogan “Kami Tidak Takut” dengan sangat emosional di berbagai kesempatan sebagai bentuk perlawanan terhadap teroris. Akan tetapi, sebagian lagi mungkin tetap saja merasa merinding, cemas, khawatir dan mengkeret, takut-takut kejadian tersebut menyasar diri mereka.
Seorang teman menulis sebuah status di akun Facebook-nya bahwa masyarakat lebih takut dengan begal ketimbang teroris, karena teroris hanya mengincar polisi sementara begal mengincar semua pengguna kendaraan. Sementara di lain waktu, saya tersenyum membaca sebuah tulisan tentang penjual cilok yang biasa berjualan di lokasi car free day: Saya lebih takut sama Satpol PP ketimbang teroris, katanya.
Oke. Sampai sini bisa saya tarik kesimpulan bahwa ketakutan seseorang terhadap sebuah teror tergantung dari seperti apa kepentingan dan bagaimana kondisi dia saat itu. Bisa jadi, bagi sebagian orang yang tinggal di kaki gunung Merapi, ancaman teror terbesar yang mereka hadapi adalah aktivitas sang gunung yang dapat menggelegak kapan saja. Atau, bagi mereka yang senantiasa berurusan dengan hutang dan riba bank, teror debt collector barangkali lebih mampu bikin jantung kebat-kebit. Sekali lagi mungkin.
Tentang penanda aras dan slogan “Kami Tidak Takut” yang menjadi trending topic setelah kejadian itu, saya akui sebagai sebuah terobosan kreatif serta keberanian luar biasa dari sebagian masyarakat Indonesia—terlepas dari kenyataan benar-benar berani atau pura-pura berani. Sementara, bagi sebagian lain, slogan ini justru dianggap sebagai sesuatu yang keliru dan terkesan arogan. Seolah ingin menantang para pelaku aksi teror agar mendatangkan aksi yang lebih keren dan dahsyat lagi, sampai masyarakat benar-benar takut.
Entahlah. Saya tak ingin membahas polemik itu lebih jauh.
Namun, satu hal yang membuat saya berpikir tentang slogan itu. Jangan-jangan, tanpa sadar, jauh sebelum slogan itu diteriakkan untuk melawan teroris, sebagian penduduk negeri ini—termasuk saya yang dhaif dan banyak dosa—sudah lebih dulu meneriakkannya untuk melawan Allah Azza wa Jalla?
Ya, KAMI TIDAK TAKUT terhadap teror azab-Mu, Ya Allah! Begitu kira-kira bunyinya.
Tentu bukan tanpa sebab pikiran ini datang memenuhi ruang pikir saya. Bukankah dengan menolak menjalankan perintah Allah dengan sempurna, dan menjauhi segala larangan-Nya, itu berarti kita sudah sungguh-sungguh siap untuk menerima azab-Nya? Bukankah dengan dukung-mendukung kemaksiatan dan bersukacita atasnya, itu berarti kita sudah tidak takut lagi terhadap janji-janji Allah tentang azab-Nya? Bukankah dengan tidak mau dan enggan menerapkan syariat Allah dengan sempurna di negeri ini, itu berarti kita telah sangat-sangat siap menantang Allah secara terbuka?
Astaghfirullah. Astaghfirullah. Astaghfirullah.
Betapa berani dan pongahnya kita.
Betapa kurang ajar dan tak tahu adabnya kita.
Betapa bodoh dan tak kenal takutnya kita.
Padahal, sungguh, seperih-perih dan sekeras-kerasnya siksaan adalah azab Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Dan Allah adalah sebaik-baik penetap janji.
Di saat Rasulullah shallallahu alaihi wassalam, orang yang terjaga dari dosa dan paling pertama dijamin masuk Surga, adalah orang yang paling takut kepada Allah, kita justru secara terang-tengan menantang Allah dengan MENOLAK dan MENGEJEK syariat-Nya. Sudah lebih baikkah kita dari Rasulullah? Sudah lebih salihkah kita dari Rasulullah? Lantas, benarkah kita sungguh-sungguh tidak takut? Atau ini hanya semata kebodohan dan kefakiran kita akan ilmu? Mudah-mudahan begitu.
Sekali lagi, mari kita sama-sama menundukkan kepala sedalam-dalamnya, menangis sejadi-jadinya, ber-istighfar sekuat-kuatnya, memohon ampun kepada Sang Pemilik Ruh yang bersemayam dalam raga-raga kita.
Malulah kita kepada seorang Sahabat bernama Abu Bakar Ash Shiddiq ra.. “Demi Allah, aku tak pernah merasa terhindar dari pengawasan Allah,” katanya suatu ketika, “meskipun salah satu kakiku sudah menginjak Surga dan yang satu (kaki) lagi masih di luar (Surga). Karena tidak ada yang merasa aman dari pengawasan Allah. Orang yang merasa aman dari pengawasan dan azab Allah sesungguhnya adalah benar-benar orang yang merugi.” Padahal, jauh sebelum ia mengatakan itu, Rasulullah telah mengabarkan berita gembira kepadanya dengan Surga.
Malulah kita kepada seorang Sahabat bernama Umar ibn Khaththab ra., yang pernah JATUH SAKIT selama SEBULAN penuh karena rasa takutnya kepada Allah. Sementara sama halnya dengan sang teman, Abu Bakar, ia pun telah dikabarkan oleh Rasulullah dengan Surga.
Malulah kita kepada seorang Sahabat bernama Utsman ibn Affan ra., yang pernah MENANGIS sampai JATUH PINGSAN tatkala melewati pemakaman dan melihat orang yang dikubur. “Sesungguhnya Rasulullah bersabda,” sahutnya seraya terisak ketika ditanya para sahabat mengapa ia sampai menangis, “kuburan adalah tingkatan akhirat yang pertama. Jika ia berhasil di sini, maka untuk selanjutnya akan lebih mudah. Kemudian jika ia tidak berhasil di sini, maka yang selanjutnya akan lebih sulit.”
Malulah kita kepada seorang istri Rasulullah bernama Aisyah binti Ash Shiddiq, yang pernah menangis tersedu-sedu tatkala dalam sebuah Dhuha ia membaca ayat berkaitan dengan karunia dan azab. Sementara Allah telah menyucikan dan membebaskannya langsung dari tujuh lapis langit.
Astaghfirullah. Astaghfirullah. Astaghfirullah.
Seorang alim berkata, hati yang tidak takut kepada Allah, ia bukanlah sebenar-benarnya hati.
Sesungguhnya, kita lebih pantas TAKUT dari mereka. Kita lebih pantas MENANGIS sejadinya. Kita lebih pantas GEMETAR. Kita lebih pantas tersungkur, mengais-ngais ampunan sampai masa depan kita di akhirat menjadi jelas: SURGA.
Jika seorang Abu Bakar saja masih takut terhadap Allah dan tak pernah merasa aman dari pengawasan-Nya, lalu siapakah kita—yang amal saja masih mikir-mikir?
Jika seorang Umar saja sampai jatuh sakit selama sebulan bersebab rasa takutnya terhadap siksa Allah, lalu amankah kita—yang ibadah saja masih semaunya?
Jika Utsman saja sampai menangis dan jatuh pingsan tatkala melewati pekuburan, lalu tak takut matikah kita—padahal mati itu adalah sesuatu yang pasti datangnya?
Jika Aisyah saja sampai tersedu-sedu ketika membaca ayat tentang karunia dan azab, lalu seberapa sucinya kita—yang antara haram dan halal saja masih sulit membedakan?
Barangkali, boleh saja kita memiliki banyak cita-cita dan harapan, tetapi boleh jadi pula KEMATIAN lebih dekat dari yang semua yang kita harapkan. Barangkali kita masih sering RELA dan IKHLAS dilalaikan oleh urusan-urusan duniawi, sementara kita sangat sadar bahwa kita pasti akan mati dan semua itu akan kita tinggalkan begitu saja.
Sekali lagi, sesungguhnya kita lebih pantas takut dari mereka. Takutlah kepada Allah. Karena boleh jadi, dengan sekadar takut saja, Allah masih mau menahan azab-Nya dan berkenan mengakui kita sebagai hamba-Nya. Astaghfirullah. Ampuni kami, Ya Allah. Ampuni kami. Kami memang takut.
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.
(Al-Baqarah [2]: 197)
Komentar