Langsung ke konten utama

Melebur Buntu



Coba melebur buntu setelah sekian lama tidak menulis novel. Hasilnya, seperti ini ... semoga rangkaian kalimat awal yang hanya seucrit ini, mampu beranakpinak menjadi lembar demi lembar berikutnya. Ya, semoga. :)

Surabaya, November 2012 ...

Tidak ada alasan untuk bertahan di sekolah pada hari Senin. Inilah satu hari dalam seminggu dimana semua isinya adalah siksaan. Terutama terhadap otak-otak dengan kemampuan eksakta pas-pasan—jika tak mau dibilang memprihatinkan. Bayangkan, selepas berpanas-panas ria di tengah lapangan dalam sebuah ritual busuk bernama upacara, murid-murid itu sudah harus dihadapkan dengan dua jam pelajaran Matematika, berikutnya satu jam Kimia sebelum dan satu jam setelah istirahat, dan terahir Fisika di dua jam sisa menjelang pulang.
Sambil mengosongkan gelas orange juice-nya pagi itu, sebuah pertanyaan yang kerap memenuhi kepalanya kembali mengulang: minatnya terhadap sekolah tampaknya sudah betul-betul habis, ini kah saatnya ia berhenti, dan pergi meninggalkan kota ini? Tapi ... mau apa jika tak sekolah, dan harus ke mana ia pergi?
Seseorang menepuk ringan pundaknya dari belakang.
“Hayo! Ketahuan lagi bengong.”
Andari menoleh. Dua ujung bibirnya sontak menarik senyum begitu tahu siapa yang coba mengejutkannya barusan. Juwita, salah satu waiters sekaligus pemilik kafe ini.
“Pasti mikirin cowok, ya?” Juwita meletakkan fancake pesanannya, lalu ikut duduk di sebelah Andari. Satu jam setelah buka, kafe memang masih belum terlalu ramai. Artinya, masih banyak waktu berleha-leha sebelum jam kerja sesungguhnya dimulai pada saat jam makan siang nanti.
“Bang Boris kok nggak kelihatan, Mbak?” Andari bertanya, memandang sekeliling.
“Hmm,” terdengar suara Juwita mendeham, “kamu tuh emang paling bisa, ya. Ditanya malah balik lempar pertanyaan.”
Andari tergelak halus. “Serius. Daritadi aku nggak lihat abangku itu.”
“Dia lagi keluar sebentar. Ada urusan.” Juwita membetulkan duduknya, menarik napas dalam. Ada kabar yang ingin ia bagi ke Andari. “Jadi, rencananya mulai bulan depan, di Borju akan ada live music performance. Jadwalnya masih kita godok. Antara Sabtu malam atau Minggu malam setiap pekannya. Nah, dia lagi ketemu sama band yang bakal ngisi pertama sekaligus launching acara ini nanti. Maunya sih tiap pekan band yang tampil beda-beda, cuma—liat aja nanti. Sedang kita kondisikan dana dan waktunya,” jelas Juwita panjang lebar.
Andari melonjak. Tampak antusias. “Wuih, keren dong! Alamat bakal makin betah aja nongkrong di sini.”
“Pastinya dong,” sahut Juwita sambil nyengir lebar.
Andari masih ingat betul ketika dulu ia menemukan tempat ini secara tidak sengaja untuk pertama kali. Waktu itu, hari masih pagi saat Andari kebingungan menukar uang receh untuk bayar ojeg yang ditumpanginya dari depan kosan. Dan ketika sedang dalam keadaan bingung itulah matanya kemudian melihat sebuah kedai kopi—sebut saja begitu—yang sepertinya baru saja buka. Andari merasa seperti ada yang menuntun matanya untuk menoleh ke arah tersebut. Akhirnya, tanpa pikir panjang, Andari pun langsung ngeloyor masuk, dan menemukan seorang wanita muda tengah sibuk beberes sesuatu.
Juwita melongo. Sementara kafe baru saja buka, dan penglaris belum datang, tahu-tahu ada anak berseragam SMA yang datang minta ditukarkan uang receh seratus ribuan. Setengah memaksa pula. Betul-betul enggak sopan!
Namun, bukan Andari namanya jika tak pandai merebut hati seseorang dengan segala tingkahnya yang menyebalkan sekaligus menggemaskan itu. Maka sejak hari itu, keduanya malah bersahabat erat, layaknya kakak adik ketemu gede. Kafe ini menjelma menjadi tempat paling asik menghabiskan jam bolos bagi Andari.
Tak terlalu mewah, Borju menempati bangunan tua, bekas rumah veteran perang jaman Belanda, yang ditinggal mati pemiliknya. Ukurannya lumayan luas, bertemakan segala sesuatu berbau jaman dulu alias vintage. Anak keturunannya tak ingin menempati, hingga akhirnya rumah penuh aroma sejarah itu dijual murah dan berpindah hak milik ke tangan pasangan muda pindahan dari Bali; Boris dan Juwita. Itulah mengapa kafe ini dinamakan Cafe Borju, kependekan dari dua nama pemiliknya yakni Boris dan Juwita. Manis sekaligus romantis.
Konsepnya sederhana, sebuah kafe yang enak dan nyaman dijadikan tempat nongkrong anak muda Surabaya—khususnya pelajar dan mahasiswa—yang memang banyak berkeliaran di seputaran Taman Bungkul. Boris dan Juwita membangun tempat ini atas nama cinta. Hasilnya, sebuah tempat yang benar-benar hangat. Ada sebuah vespa tua yang disulap menjadi pajangan nan artistik di depan pintu masuk. Satu dari sekian banyak benda yang pernah menjadi saksi bisu indahnya masa-masa pacaran mereka dulu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengintip Dapur Pengabdi Cilok (Bagian 1)

Kaver novel terbaru saya: Pengabdi Cilok (Gramedia Pustaka Utama, Februari 2018) “Bagi Bone, cilok adalah separuh jiwanya. Apapun yang terjadi dalam hidupnya, harus berhubungan dengan cilok. Titik! Begitupun urusan nyari jodoh. Kalau cewek itu nggak jago bikin cilok, jangan harap bisa jadian sama Bone! Hihihi. Suatu hari, Bone berjumpa dengan sebungkus cilok di sekolah. Begitu dicicipi, emejing, rasa ciloknya juara banget! Edanlah pokoknya! Bone pun penasaran, siapa pemilik sekaligus pembuat cilok itu? Dengan dibantu temannya, Bone lalu mengadakan sayembara. Jika pemilik cilok ternyata cowok, bakal dikasih hadiah Iphone terbaru. Tapi, jika pemilik cilok ternyata cewek, bakal langsung dijadiin pacar sama Bone! Asyiik! Masalah jadi runyam ketika ternyata pembuat cilok itu janda beranak satu. Huwaaa! Jelas Bone jadi panik setengah mati. Apa kata dunia nanti? Bone pacaran sama emak-emak? Oh, tidaaak! Cilok membawa Bone pada kisah percintaan yang sungguh amburadul. Lan

Layaknya Bunga, Kita Memang Harus Bertumbuh dan Berkembang

Lebaran kali ini (2019), film yang paling saya tunggu adalah Ghost Writer besutan Bene Dion. Film ini bertema komedi horor, walau pada kenyataannya, sisi dramanya pun bisa dibilang cukup kental terasa. Sebelumnya, banyak yang keliru menyangka bahwa film ini adalah filmnya Ernest Prakasa. Padahal yang benar adalah Ernest justru di film ini bertindak selaku produser, bukan lagi sutradara seperti di film-film dia sebelumnya. Memang, pada perjalanannya, sebagai produser, Ernest juga banyak turut andil dalam proses editing pasca produksi. Namun, ketika ditanya, Ghost Writer itu film siapa? Ernest mantap menjawab bahwa GW adalah filmnya Bene Dion. Sekilas, film Ghost Writer bercerita tentang Naya yang harus pindah ke sebuah rumah tua bersama adiknya karena desakan ekonomi. Di rumah itu, Naya kemudian menemukan sebuah buku diari milik Galih, yang ternyata sudah meninggal, dan menjadi hantu penunggu rumah itu. Galih tidak terima buku diarinya dicuri. Akhirnya, demi sebuah proyek penu

Ratjoen Itu Bernama Materi dan Sanjung Puji

Gambar: http://www.portseo.web.id Beberapa pekan belakangan, jagad media sosial (terkhusus yang berkaitan dengan dunia literasi) ramai membahas kasus plagiarisme yang dilakukan seorang penulis (bolehlah dibilang muda) berinisial DE. Tidak tanggung-tanggung, puluhan cerpen dan beberapa novel (saya tidak punya data khusus, sumber hanya dari teman-teman penulis, pen)—yang hampir semua sudah dimuat di media massa dan terbit di beberapa penerbit nasional—terbukti hasil plagiat dari karya milik penulis lain. Entah apa motivasi dan alasan DE melakukan kejahatan ini, saya tak ingin membahasnya dalam tulisan ini. Yang jelas, bagi saya plagiarisme merupakan tindak kejahatan, sama seperti pencurian, korupsi, pemerkosaan, dan tindak kejahatan lain. Jika merujuk pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), plagiat memiliki arti pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya