Langsung ke konten utama

Angin Gunung, Tukang Obat, dan Petasan Kentut


Ada tiga model emak-emak (setidaknya menurut saya) kalau lagi ngomongin tentang bayi/anak kecil. Ini berdasarkan pengalaman saya (dan juga istri saya) setelah kami memiliki bayi.

Model emak-emak yang pertama adalah 'Angin Gunung'. Seperti halnya angin gunung, tipe emak-emak seperti ini menyejukkan dan menyenangkan siapa saja yang dihembusinya. Langsung ke contoh: Saya lagi ngajak main Mata (anak saya 14 bulan). Terus ketemu sama emak-emak yang juga lagi gendong bayi, atau setidaknya pernah punya bayi. Tapi lebih seru sih kalau ketemu sama yang lagi bawa bayi juga. Kita bisa lihat karakter emaknya. Seru! :D

Emak AG: Mata udah bisa jalan?
Saya: Belum, Tante. Baru bisa merambat aja.
Emak AG: Oh, nggak apa-apa. Nanti juga bisa lama-lama. Ya, Mata pinter, ya? Pelan-pelan aja, ya, Nak. Tiap pagi di ajak latihan jalan di atas rumput berembun sambil bertelanjang kaki. Tiap bayi emang beda-beda, sih. Punya gaya tumbuh kembangnya sendiri-sendiri. Ada yang jalan cepet, tapi ngomongnya lama. Ada yang tumbuh gigi cepet, tapi jalannya lama. Bla, bla, bla. Nah, dalam kacamata saya tipe emak-emak seperti ini sangat menyejukkan. Setiap kata yang dikeluarkan adalah penyemangat. Dan sharing dengan emak-emak tipe ini sangat menginspirasi.

Model emak-emak yang kedua adalah 'Tukang Obat'. Dan seperti halnya tukang obat, kerjaannya selalu membagus-baguskan dagangan miliknya. Contoh kasusnya saya ambil sama dengan yang di atas.
Emak TO: Mata udah bisa jalan?
Saya: Belum, Tante. Baru bisa merambat aja.
Emak TO: Oh, dulu mah si anu (sambil nyebut nama anaknya) umur 11 bulan udah bisa jalan. Pas setahun juga udah langsung bisa ngomong. Malah kira-kira pas 7 bulan si anu udah banyak giginya, terus pinter lagi kalau diajarin langsung ngerti, dan bla, bla, bla...panjang... Sebenernya sih saya gak terlalu masalah dengan tipe emak-emak seperti ini. Palingan kalau lagi di ajak ngobrol saya cuma nyengir dan sesekali ngangguk-ngangguk.

Model emak-emak yang ketiga adalah 'Petasan Kentut'. Seperti halnya petasan kentut, mengganggu dan bau. Hehehe... Langsung ke contoh kasus.
Emak PK: Mata udah bisa jalan?
Saya: Belum, Tante. Baru bisa merambat aja.
Emak PK: Owalah, kalah dong sama si anu (nyebut bayi tetangganya). Si anu aja udah bisa jalan, padahal kan lahirnya gak jauh ya? Ayo dong Mata buruan jalan, nanti keburu kesusul sama si anu (nyebut nama bayi lain lagi yang masih tetangga), malu masak kesusul sama dedenya. Tapi emang si anu mah (nyebut anak tetangga yang pertama) pinter banget sih, baru umur segitu aja udah bla, bla, bla. Mata juga giginya baru empat ya? Oh, si anu mah (masih nyebut nama bayi orang) giginya udah banyak. Jalannya aja udah mantep banget. Kumincir aja kerjaannya ke mana-mana. Bla... bla.. bla.. panjang kayak choki-choki. Dan lucunya yang begini ini bukan cuma ke anak saya, nanti pas ngobrol sama tetangga lain yang juga punya bayi pun redaksinya akan sama, cuma dituker nama-namanya aja. Hehe..
Saya mikir, ini emak-emak perasaan yang diomongin juga bayi orang, bukan bayinya sendiri, kenapa repot amat, ya. Lagi pula para ibu yang bayinya sering dia promosiin kadang merasa anaknya belum bisa sampai sejauh itu perkembangannya, dia aja yang ngarang-ngarang sendiri. Jenis emak-emak seperti ini biasanya paling dihindari sama para ibu muda yang baru punya bayi. Bukan apa-apa, RIBET masalahnya kalau ngobrol sama yang begini. :D

Nah, sekian analisa saya. Maafkan jika analisanya butut. Hehe.. Semoga menginspirasi, BAHWA SESUNGGUHNYA KITA PUNYA PILIHAN UNTUK MEMBAGUSKAN UCAPAN DAN MENYENANGKAN HATI SAUDARA, ATAU MEMBURUKKAN UCAPAN DAN MEMBUAT SAUDARA YANG MENDENGAR TAK NYAMAN HATI.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengintip Dapur Pengabdi Cilok (Bagian 1)

Kaver novel terbaru saya: Pengabdi Cilok (Gramedia Pustaka Utama, Februari 2018) “Bagi Bone, cilok adalah separuh jiwanya. Apapun yang terjadi dalam hidupnya, harus berhubungan dengan cilok. Titik! Begitupun urusan nyari jodoh. Kalau cewek itu nggak jago bikin cilok, jangan harap bisa jadian sama Bone! Hihihi. Suatu hari, Bone berjumpa dengan sebungkus cilok di sekolah. Begitu dicicipi, emejing, rasa ciloknya juara banget! Edanlah pokoknya! Bone pun penasaran, siapa pemilik sekaligus pembuat cilok itu? Dengan dibantu temannya, Bone lalu mengadakan sayembara. Jika pemilik cilok ternyata cowok, bakal dikasih hadiah Iphone terbaru. Tapi, jika pemilik cilok ternyata cewek, bakal langsung dijadiin pacar sama Bone! Asyiik! Masalah jadi runyam ketika ternyata pembuat cilok itu janda beranak satu. Huwaaa! Jelas Bone jadi panik setengah mati. Apa kata dunia nanti? Bone pacaran sama emak-emak? Oh, tidaaak! Cilok membawa Bone pada kisah percintaan yang sungguh amburadul. Lan

Layaknya Bunga, Kita Memang Harus Bertumbuh dan Berkembang

Lebaran kali ini (2019), film yang paling saya tunggu adalah Ghost Writer besutan Bene Dion. Film ini bertema komedi horor, walau pada kenyataannya, sisi dramanya pun bisa dibilang cukup kental terasa. Sebelumnya, banyak yang keliru menyangka bahwa film ini adalah filmnya Ernest Prakasa. Padahal yang benar adalah Ernest justru di film ini bertindak selaku produser, bukan lagi sutradara seperti di film-film dia sebelumnya. Memang, pada perjalanannya, sebagai produser, Ernest juga banyak turut andil dalam proses editing pasca produksi. Namun, ketika ditanya, Ghost Writer itu film siapa? Ernest mantap menjawab bahwa GW adalah filmnya Bene Dion. Sekilas, film Ghost Writer bercerita tentang Naya yang harus pindah ke sebuah rumah tua bersama adiknya karena desakan ekonomi. Di rumah itu, Naya kemudian menemukan sebuah buku diari milik Galih, yang ternyata sudah meninggal, dan menjadi hantu penunggu rumah itu. Galih tidak terima buku diarinya dicuri. Akhirnya, demi sebuah proyek penu

Ratjoen Itu Bernama Materi dan Sanjung Puji

Gambar: http://www.portseo.web.id Beberapa pekan belakangan, jagad media sosial (terkhusus yang berkaitan dengan dunia literasi) ramai membahas kasus plagiarisme yang dilakukan seorang penulis (bolehlah dibilang muda) berinisial DE. Tidak tanggung-tanggung, puluhan cerpen dan beberapa novel (saya tidak punya data khusus, sumber hanya dari teman-teman penulis, pen)—yang hampir semua sudah dimuat di media massa dan terbit di beberapa penerbit nasional—terbukti hasil plagiat dari karya milik penulis lain. Entah apa motivasi dan alasan DE melakukan kejahatan ini, saya tak ingin membahasnya dalam tulisan ini. Yang jelas, bagi saya plagiarisme merupakan tindak kejahatan, sama seperti pencurian, korupsi, pemerkosaan, dan tindak kejahatan lain. Jika merujuk pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), plagiat memiliki arti pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya