Langsung ke konten utama

Kembang Api Terakhir


Oleh Irvan Aqila
*) Pernah dimuat di majalah STORY edisi 40 Des - Januari 2013

Jangan pernah takut untuk mengulangi kegagalan
yang pernah kita rasakan demi menciptakan kesempatan kedua,
sebelum akhirnya kita akan benar-benar menyesal...

Siapa sih di antara sekian banyak anak Mapala kampus yang nggak kenal sama orang ini? Namanya Mido. Yap, Ahmed Mido. Pemuda berperawakan sedang dengan rambut belah tengah yang senantiasa dihiasi bandana ini, emang punya tampang mumpuni yang membuatnya mudah diingat di kalangan anak Mapala kampus. Tapi bukan lantaran tampang itu aja yang membuat doi jadi beken, melainkan dedikasi dan loyalitasnya untuk kemajuan Mapala kampuslah yang membuatnya cukup disegani.
Mungkin Mido adalah satu dari segelintir jenis mahasiswa aneh di kebanyakan kampus. Mahasiswa yang datang ke kampus bukan untuk kuliah sebagai alasan utamanya, melainkan untuk melampiaskan nafsunya naik gunung alias jadi anak Mapala.
“Mau nyari Mido itu gampang, cari aja di kelas abadinya, ruang sekretariat Mapala. Anak itu cuma kuliah di satu ruang itu,” canda beberapa mahasiswa yang kenal betul siapa Mido.
Ya, begitulah Mido. Di saat mahasiswa lain sibuk dengan rentetan kuis yang menghiasi hari-hari kuliah mereka minggu ini, anak itu malah sibuk mengurus persiapan untuk acara tahunan Mapala di ‘ruang kuliahnya’. Ajaibnya, nilai tiap mata kuliah pemuda aneh itu tak pernah terjun bebas dari puncak tertinggi seperti yang sering ia lakukan di kehidupan nyata saat bermain paralayang. Tapi nilainya itu selalu lumayan, jika tak ingin dibilang bagus.
Dia, Mido.
“Ya, udah, lo siapin semuanya buat besok. Biar peserta gue yang urus,” ujar Rena kepada partner-nya dalam acara nanti.
“Semua udah beres kok, kita tinggal nunggu keberangkatan aja,” balas Mido.
Cool!” Rena mengerling cantik sembari tersenyum.
Mido hanya tersenyum tipis membalasnya.
“Ini pasti akan jadi liburan tahun baru yang menyenangkan, ya, Do.”
Mido mengangguk. “Semoga...”
“Kenapa sih, kok nggak semangat gitu?”
Mido menggaruk kepalanya. “Gue masih trauma dengan liburan tahun baru yang lalu.”
“Hahaha,” Rena tertawa keras.
Mapala kampus mengadakan acara Badak Rimba untuk mahasiswa baru yang berminat gabung sama organisasi mereka. Acara ini bertujuan sebagai ajang mempererat tali silaturahmi dan penyampaian visi organisasi yang akan mereka geluti. Kali ini ketua acaranya Rena, cewek penakluk beberapa puncak di Indonesia. Setelah tahun lalu diketuai oleh senior cowok maka kali ini senior cewek kebagian jatah sebagai ketua acara yang diadakan rutin setiap tahun.
Mido menatap dalam cewek yang berada di hadapannya. Rena tak sadar dirinya sedang diperhatikan.
Mido menarik nafas dalam.
Ah, sebentar lagi, tepat setahun berlalu semenjak kejadian itu. Kejadian yang membuat Mido harus merasakan getirnya mencinta. Memang belum sampai ditolak, tapi itu aja sudah cukup untuk membuat Mido menyimpan kembali perasaannya rapat-rapat.
Gadis ini memang tampak beda dengan kebanyakan mahasiswi. Hatinya yang sulit sekali diterka, membuat Mido tertantang untuk menaklukkannya. Sayang, Rena membuatnya putus harapan. Dia ingat betul ketika itu Rena hanya menanggapinya dengan canda dan terkesan seperti sedang tidak ada apa-apa dengan perasaan temannya itu.
“Ah, gila lo! Gue masih muda, masak udah mau lo ajak kawin,” ucapnya setengah bercanda ketika Mido mengungkapkan tentang perasaannya. “Nanti kalo gue udah bisa nginjekin kaki di puncak Everest, baru gue mau jadi pacar lo!” Rena tertawa lepas.
Kejadian itu terjadi tepat menjelang detik-detik pergantian tahun, setahun yang lalu di puncak gunung Slamet.
Sejak saat itu Mido berusaha untuk menyimpan rapat-rapat perasaannya. Dan persahabatannya dengan Rena pun terus berjalan hangat dalam satu organisasi yang sama-sama menjadi hobi mereka. Keduanya seperti sudah lupa tentang hari itu. Namun, satu hal yang membuat perasaan Mido berkecamuk dan teriris pedih, perhatian dan kasih sayang yang diberikan Rena padanya acapkali membuatnya kembali berharap.
“Woy, bengong aja lo! Mikirin siapa sih? Mikirin gue yah?” Rena menepuk pundak Mido. Pemuda itu pun terperanjat kaget.
“Ah, lo ngagetin aja.” Mido memijit-mijit keningnya. “Nggak tau nih, badan gue panas dingin gini rasanya, nggak enak banget.
“Elo pasti kurang istirahat deh,” raut wajah Rena berubah khawatir.
“Kayaknya sih.”
Rena segera merapikan perlengkapan milik Mido. “Lo mending balik aja deh, besok gimana kalo lo sakit. Nggak lucu kan kalo senior yang diidam-idamkan para juniornya untuk ngebimbing mereka malah nggak ada di tengah-tengah mereka.”
Mido senyum tipis. “Iya, kalo gitu gue balik dulu yah. Lo bisa kan ngurusin ini semua sendiri? Tuh, anak-anak masih ada di luar, minta bantuin mereka aja.”
“Beres, Bos!”
“Lo nggak apa-apa kan gue tinggal?”
Rena menggeleng. “Yang penting lo bisa istirahat,” katanya. “Karena gue nggak mau besok lo sakit. Gue nunggu ini setahun, Do,” sambungnya, namun dalam hati.

(*

“Bay, gimana tranportasi, beres nggak?” tanya Mido kepada sobatnya yang ada di ujung telepon.
“Beres, Do. Semua udah kelar. Untungnya Kapolsek ngizinin kita buat pake truk dinasnya satu, beliau juga nyertain surat izin jalan buat kita, pokoknya rapi deh semua,” sahut Bayu mantap.
“Nah, gitu dong,” Mido tertawa kecil. “Oke deh, besok jam 07.00 teng gue tunggu hasilnya di parkir selatan kampus ya, Bay.”
“Siap, Bro!”
Saking lelahnya dengan aktivitas di kampus tadi menjelang persiapan terakhir, Mido akhirnya tertidur pulas di atas kasur yang tampak sangat berantakan dengan segala perlengkapan out door. Ada sesuatu yang aneh terjadi dalam tidurnya sore ini. Ia mimpi sangat buruk, seperti ada kejadian yang akan menimpanya kelak. Pemuda itu tersentak bangun. Nafasnya terengah-engah.
“Astaghfirullah... mimpi apa gue barusan,” Mido berjalan ke arah jendela. Dilongokkan kepalanya ke luar, ternyata hari sudah gelap. Ia ingat perkataan orangtua dulu kalau nggak boleh tidur saat hari menjelang malam. Berusaha melupakan mimpi buruk barusan, ia segera meraih handuk seraya melangkah menuju kamar mandi.
“Ah, mungkin karena gue tidur sore-sore kali, gue jadi mimpi buruk. Mungkin gue disuruh bangun buat shalat Maghrib,” batinnya dalam hati coba menepiskan semua pikiran buruk yang berkelindan di kepalanya.
Selesai mandi Mido mengerjakan shalat Maghrib, berdoa untuk keselamatannya besok. Tiba-tiba terdengar suara ringtone handphone. Ada pesan masuk dari Rena.
“Hi, sayang, lagi apa? Udah baikan belum? Terus udah makan kan? Besok jangan telat yaa, dagh! Dari pengagummu...” Begitu isi pesannya.
Mido menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya kencang-kencang. Sembari merebahkan tubuhnya di atas kasur, ia menggumam. “Rena, Rena... Kenapa sih lo tuh selalu ngasih kesempatan gue untuk terus berharap? Kalau nyatanya elo nggak pernah bisa untuk gue miliki.”
Mido membuyarkan semua lamunan itu, lantas meraih carrier dan membereskan perlengkapan serta peralatan yang berserakan di atas kasurnya. Setelah beres packing, ia berangkat ke konter out door nggak jauh dari rumahnya, untuk menambah bekal logistiknya yang masih kurang.

(*

“Gimana, semua peserta udah kumpul, Dit?”
“Udah,” sahut Dito kepada Rena. “Semua peserta jumlahnya 26 orang, mereka lagi didata sama Maya.”
Nggak lama Bayu muncul. “Ren, mobil udah siap di parkiran dan ini surat izin jalan kita dari Kapolsek kemarin,” ujarnya seraya menyerahkan selembar amplop.
Thanks, Bay.” Rena tersenyum. “Eh, Bay, Mido mana? Kok belum kelihatan batang hidungnya tuh anak? Jangan-jangan dia ketiduran.”
“Lho, Mido sama Dhika kan udah berangkat duluan karena musti ngurus izin lapor pendakian di sana, emang dia nggak bilang sama lo?”
Rena menggeleng. Lalu terdiam cukup lama.
“Ren, elo kenapa, kok malah bengong?”
“Ah, nggak.” Rena tersentak. “Oke, kita siap berangkat kan, Bay?”
Dalam perjalanan menuju Semeru, Rena berubah jadi pendiam. Gadis itu terlihat beda dibanding perjalanan-perjalanan sebelumnya. Semua teman yang coba mengajaknya bicara hanya mendapat tanggapan singkat. Rena merasakan sebuah aura yang sangat aneh. Ia merasa seperti akan kehilangan sesuatu dan meninggalkan segalanya. Diam-diam ia terus menghubungkan perasaan ini dengan keberadaan Mido.
“Kenapa dia nggak pamit sama gue yah? Nggak biasa-biasanya dia kayak gini. Apa dia udah sehat?”
Hatinya terus bertanya-tanya.
Ah, jelas sudah kalau sebenarnya Rena juga menyimpan rasa serupa terhadap pemuda itu. “Do, sejak saat itu... jujur, gue mulai sayang sama lo. Kenapa elo nggak mencoba sekali lagi untuk meminta hati gue ini?” jeritnya dalam hati. “Padahal gue nunggu, Do. Gue nunggu. Apa... udah hilang cinta lo buat gue?”
Saat Mido mengungkapkan isi hatinya waktu itu, Rena belum siap. Ia bingung sekaligus tak percaya. Orang yang hampir tiap hari bersamanya, ketawa-ketiwi di setiap pendakian, susah senang bareng-bareng, sudah seperti layaknya adik kakak, tiba-tiba mengungkapkan perasaannya. Lalu apa yang harus ia perbuat? Pertanyaan itu yang memaksanya untuk seolah tidak menanggapi perkataan Mido dengan serius.
Gadis manis dengan jiwa petualangnya itu terus termenung dalam diam.

(*

“Jumlah kami semua 32 orang. 26 peserta dan 6 pembimbing. Kita akan mulai start kira-kira selepas Ashar,” Mido yang udah tiba di Pos Ranu Pane langsung mengurus izin pendakian bersama Dhika. Sembari menunggu rombongan datang mereka mengecek ulang segala perlengkapan dan peralatan dalam carrier yang mereka bawa. Setelah itu istirahat.
Selang beberapa jam rombongan datang.
Rena segera menemui Mido. Mido kaget ketika tiba-tiba tubuhnya dipeluk gadis itu begitu aja. “Elo baik-baik aja kan, Do?” tanyanya spontan.
Mido berusaha mengangguk.
“Elo kenapa, Ren? Muka lo pucet banget? Elo sakit?”
Rena menggeleng.
“Elo yakin?”
Rena berusaha tersenyum sembari mengangguk.
“Ka, nanti lo temenin Rena di belakang yah,” pesannya ke Dhika. “Kasihan, kayaknya dia capek banget.”
Dhika mengiyakan.
“Elo Bay, sama Maya, yang nuntun peserta. Pandu mereka, biar nanti gue yang buka trek pendakian sambil ngasih jejak di mana kalian mesti istirahat.”
“Siap, Do,” sahut Bayu.
Mido pun pamit untuk jalan lebih dulu karena ia harus memberi tanda untuk jalur yang akan ditempuh mereka. Sementara nanti setelah istirahat rombongan menyusul di belakang.
“Ren, gue jalan duluan yah. Elo kalo masih capek istirahat aja dulu, kayaknya elo masih harus banyak istirahat. Muka lo pucet,” pesan Mido penuh perhatian.
“Iya, Do,” Rena mengangguk. “Lo hati-hati yah, gue nggak apa-apa kok.”
Aneh, sebelum berangkat Rena tergerak untuk mengecup kening Mido. “Hati-hati yah.” Kontan Mido langsung gelagapan. Selain kaget, ia juga malu ketika yang lain sibuk menyoraki mereka.
Di tengah kesendiriannya berjalan dalam hutan, lagi-lagi ia menemukan kejanggalan terjadi dengannya. Ia melihat gadis yang mirip sekali dengan Rena. Bahkan boleh dibilang serupa. Dari mulai caranya berjalan, penampilan lapangan, juga fisik yang tampak sulit dibedakan. Gadis itu berjalan di tengah sekelompok pencinta alam lain menuju ke puncak.
Mido coba menyusul, tapi urung. Ia harus menunggu rombongan di belakang, juga memberi jejak.
Mido mengikat seutas pita merah di sebuah pohon besar sebagai tanda untuk pos tiga yang akan dilalui rombongan. Belum sempat ia berdiri, tiba-tiba terdengar keras suara orang memanggil-manggil namanya.
Bayu!
“Do... Rena, Do! Rena...”
“Ah, Rena kenapa? Lo ngomong yang jelas dong!” Mido mulai panik.
“Rena, Do!” Bayu masih kesulitan bicara.
“Iya, Rena kenapa, Bay?” kepanikan Mido semakin menjadi.
“Rena... Rena... ja-jatuh ke jurang, Do!”
“Apa...?!! Ah, gila, lo!” Mido segera lari ke bawah. Ia lari kencang sekali tanpa memikirkan keselamatannya. Yang ada di pikirannya hanya satu; cepat sampai di sana!
“Ka, mana Rena??!!”
“Re-Rena jatuh, Do! Dia ada di bawah!”
“Ah, gila lo! Gimana sih kerja lo! Kenapa bisa jatuh?”
“Sori, Do. Dia kehilangan keseimbangannya, gue udah coba buat nolong, tapi gagal.”
“Ah...” Mido mengarahkan pukulannya ke wajah Dhika, sebelum akhirnya dihalangi oleh Maya.
“Udah, Do! Percuma lo kayak gini, mending sekarang kita tolong Rena, siapa tahu dia masih bisa diselamatkan.”
“So-sori, May... Gu..e kalut.”
Mido bersama Dhika segera turun ke bawah jurang yang sepertinya tidak begitu curam. Sampai di bawah mereka menemukan Rena terbaring di antara ranting-ranting kering.
“Ren, bangun, Ren... elo nggak apa-apa kan?!! Tanya Mido sembari mengangkat ke pangkuannya. “Ren, jawab gue, Ren!”
“Gue... G..ue udah nggak kuat lagi, Do! G..ue pengen ngo...mong s..s..suatu sama elo. Se..sejak itu... gue juga s..sayang sama elo. K..k..kenapa elo ng..gak coba buat minta hati g..gue sekali lagi, Do?” terdengar samar Rena coba mengeluarkan suara, sebelum akhirnya terpejam untuk selamanya.
“Ren... Rennaaa...!” Lengkingan Mido memecah keheningan senja itu.

(*
                                       
Mido masih belum bergeser dari kursi selasar rumah sakit tempat jenazah Rena dimandikan. Seiring dengan itu, puluhan kembang api milik warga Malang dan sekitarnya tampak mulai bergantian memanjat langit. Mereka berlomba memecahkan diri di antara rombongan awan tipis yang menyaput langit malam itu. Suara riuh rendah terompet samar mengisi kekosongan hati Mido. Perih rasanya. Mungkin ini kembang api terakhir yang ia lihat dari atas ketinggian. Setelah ini ia berjanji tidak akan pernah mendaki lagi... seumur hidupnya. Ya, seumur hidupnya, lagi. []

Komentar

Agus Sutisna mengatakan…
Majalah Story, majalah kenanganku

Postingan populer dari blog ini

Mengintip Dapur Pengabdi Cilok (Bagian 1)

Kaver novel terbaru saya: Pengabdi Cilok (Gramedia Pustaka Utama, Februari 2018) “Bagi Bone, cilok adalah separuh jiwanya. Apapun yang terjadi dalam hidupnya, harus berhubungan dengan cilok. Titik! Begitupun urusan nyari jodoh. Kalau cewek itu nggak jago bikin cilok, jangan harap bisa jadian sama Bone! Hihihi. Suatu hari, Bone berjumpa dengan sebungkus cilok di sekolah. Begitu dicicipi, emejing, rasa ciloknya juara banget! Edanlah pokoknya! Bone pun penasaran, siapa pemilik sekaligus pembuat cilok itu? Dengan dibantu temannya, Bone lalu mengadakan sayembara. Jika pemilik cilok ternyata cowok, bakal dikasih hadiah Iphone terbaru. Tapi, jika pemilik cilok ternyata cewek, bakal langsung dijadiin pacar sama Bone! Asyiik! Masalah jadi runyam ketika ternyata pembuat cilok itu janda beranak satu. Huwaaa! Jelas Bone jadi panik setengah mati. Apa kata dunia nanti? Bone pacaran sama emak-emak? Oh, tidaaak! Cilok membawa Bone pada kisah percintaan yang sungguh amburadul. Lan

Layaknya Bunga, Kita Memang Harus Bertumbuh dan Berkembang

Lebaran kali ini (2019), film yang paling saya tunggu adalah Ghost Writer besutan Bene Dion. Film ini bertema komedi horor, walau pada kenyataannya, sisi dramanya pun bisa dibilang cukup kental terasa. Sebelumnya, banyak yang keliru menyangka bahwa film ini adalah filmnya Ernest Prakasa. Padahal yang benar adalah Ernest justru di film ini bertindak selaku produser, bukan lagi sutradara seperti di film-film dia sebelumnya. Memang, pada perjalanannya, sebagai produser, Ernest juga banyak turut andil dalam proses editing pasca produksi. Namun, ketika ditanya, Ghost Writer itu film siapa? Ernest mantap menjawab bahwa GW adalah filmnya Bene Dion. Sekilas, film Ghost Writer bercerita tentang Naya yang harus pindah ke sebuah rumah tua bersama adiknya karena desakan ekonomi. Di rumah itu, Naya kemudian menemukan sebuah buku diari milik Galih, yang ternyata sudah meninggal, dan menjadi hantu penunggu rumah itu. Galih tidak terima buku diarinya dicuri. Akhirnya, demi sebuah proyek penu

Ratjoen Itu Bernama Materi dan Sanjung Puji

Gambar: http://www.portseo.web.id Beberapa pekan belakangan, jagad media sosial (terkhusus yang berkaitan dengan dunia literasi) ramai membahas kasus plagiarisme yang dilakukan seorang penulis (bolehlah dibilang muda) berinisial DE. Tidak tanggung-tanggung, puluhan cerpen dan beberapa novel (saya tidak punya data khusus, sumber hanya dari teman-teman penulis, pen)—yang hampir semua sudah dimuat di media massa dan terbit di beberapa penerbit nasional—terbukti hasil plagiat dari karya milik penulis lain. Entah apa motivasi dan alasan DE melakukan kejahatan ini, saya tak ingin membahasnya dalam tulisan ini. Yang jelas, bagi saya plagiarisme merupakan tindak kejahatan, sama seperti pencurian, korupsi, pemerkosaan, dan tindak kejahatan lain. Jika merujuk pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), plagiat memiliki arti pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya