Langsung ke konten utama

Tentang Senyum Indah Tiara



(Cerpen ini pernah dimuat di majalah STORY edisi 16, November 2010)

Oleh Irvan Aqila

Aku berjalan lunglai menuju mobil dinasku. Wajahku kusut. Mau gimana lagi, surat pengunduran diriku kembali ditolak sama Pak Cokro. Bukan alasan profesionalitas, namun demi kemanusian katanya. Aku akui, diriku paling tidak bisa berkutik kalau Pak Cokro sudah bawa-bawa alasan ‘kemanusian’.
“Tolong kamu pertimbangkan lagi, Bon. Kasihan mereka. Mereka sangat butuh kamu. Cuma kamu yang bisa membuat mereka tidak terlalu terlihat seperti orang sakit jiwa.”
Hiks, aku menarik napas dalam. “Tapi … saya yang sekarang jadi sakit jiwa, Pak!” dengusku berbicara sendiri sambil masuk ke dalam mobil.
Sudah berkali-kali aku mengajukan surat pengunduran diri sebagai pegawai Rumah Sakit Jiwa ‘Rindu Waras’ tempatku bekerja saat ini, namun selalu saja ditolak atasanku itu. Alasan Pak Cokro, hanya dirikulah yang bisa meng-handle sifat liar para pasien di rumah sakit ini.
Huwah! Memang, aku tak memungkiri akan hal itu. Nggak tau kenapa, semua pasien di rumah sakit jiwa ini semuanya nurut kalau sudah aku yang pegang. Walaupun jabatanku hanya seorang supir yayasan, tapi aku boleh sombong, sumbangsih yang aku berikan bagi Rindu Waras melebihi seorang psikiater sekalipun.
Pasien-pasien di sini seolah tersihir oleh sentuhanku yang bersahabat. Pasalnya aku memang tak pernah memperlakukan mereka seperti orang yang sedang terganggu jiwanya dan harus dijauhi. Tapi aku memperlakukan mereka layaknya seorang sahabat.
Ya, sahabat. Tepatnya sahabat dalam mengusir penat, karena polah mereka yang lucu-lucu.
Tanganku membuka pintu mobil, lalu masuk. Ketika ingin menyalakan mesin, tanpa sengaja mataku menangkap ada sepasang mata indah yang sedang asik memperhatikan gerak-gerikku dari jauh. Di sela-sela jeruji besi jendela kamarnya, Tiara menikmati keindahan parasku (mungkin) sembari senyum-senyum sendiri.
Tiara adalah salah satu dari belasan pasien di sini. Orangnya cantik, rambutnya panjang, kulitnya putih bersih, manis dengan lesung pipit tunggal di pipi sebelah kanan.
Rindu Waras memang hanya sedikit memelihara pasien. Hanya belasan. Lebih berfungsi sebagai rumah rehabilitasi bagi para penderita gangguan jiwa yang dititipkan oleh keluarganya.
Satu yang masih menggelitik pikiranku hingga sekarang, yaitu tentang pertanyaan kok bisa yah gadis secantik Tiara terganggu jiwanya? Bagiku sungguh sangat disayangkan. Seandainya saja dia tidak gila, pasti sudah banyak laki-laki sempurna yang ingin menjadikannya sebagai pasangan hidup.
Tiara adalah satu dari sekian banyak pasien yang bisa berkomunikasi dan berperilaku baik dengan baik jika sudah ditangani olehku.
Gadis itu masuk Rindu Waras setahun yang lalu. Keluarganya langsung yang menitipkannya untuk direhabilitasi. Menurutku dia pasien paling unik, tentunya selain karna sangat cantik, Tiara punya hobi aneh. Mungkin untuk orang normal hobi ini biasa. Tapi menjadi aneh jika hobi itu ditekuni oleh Tiara yang sedang terganggu jiwanya.
Tiara hobi memotret alias photografi. Ke mana-mana selalu menenteng kamera yang diberikan oleh keluarganya. Apa saja dibidik.
Aku tersenyum sendiri membayangkannya. Sebenarnya dia itu tidak seperti orang yang sakit jiwa.
Tapi, di lain waktu kadangkala perbuatannya juga sering mencerminkan kalau dia memang terganggu jiwanya.
Paling terbaru, seminggu yang lalu dia menjambak rambut seorang wanita di sebuah tempat rekreasi ketika aku sedang mengajak semua pasien jalan-jalan. Padahal menurut pihak keamanan perempuan itu tidak salah apa-apa. Tiara tiba-tiba yang menyerangnya. Setelah aku jelaskan bahwa mereka semua adalah pasien Rindu Waras, pihak keamanan pun mengerti. Aku hanya diingatkan agar tak meninggalkan mereka sembarangan. Saat itu aku memang lengah.
Mesin mobil menyala. Aku memindahkan perseneling ke posisi satu dan jalan.
Aku segera mengarahkan si Putih (nama yang kuberikan untuk L300 dinasku ini) menuju kampus UGK. Farah sudah menungguku di sana. Farah adalah kekasihku. Siang ini dia minta dijemput dan diantar ke BIP untuk mencari buku mata kuliah Metodologi Desain.
Dua puluh menit kemudian aku sampai. Aku lebih dulu mempersiapkan diri untuk menyambut omelan kekasihku itu sebelum turun. Tampak Farah sudah memasang muka singanya, dan siap menelanku mentah-mentah,.
Mak Lampir itu pasti marah-marah lagi, batinku kecut.
“Ma-maap, macet tadi.”
Farah cuma melotot persis vampir salah minum darah. Tampak jelas dari gestur tubuhnya sebisa mungkin dia menahan emosi agar tidak muntah di tempat yang salah. Aku menduga barangkali di sini banyak teman-temannya, sebabnya dia malu jika sampai ngomel-ngomel di tempat umum.
“Nanti di mobil, aku bikin mejret kayak dodol sirsak yang jatuh dari atas lantai dua puluh, kamu!” bisiknya ke telingaku sambil masuk ke dalam mobil.
Wuaaaaa! Aku bergidik hebat. Bulu kudukku kompak ramai-ramai berdiri.
Kami langsung menuju ke BIP. Untungnya ancaman itu tak sampai terjadi.
Di dalam mobil Farah buka suara juga akhirnya. “Gimana surat pengunduran diri kamu? Udah disetujui?”
Glek! Aku menelan ludah susah payah.
“Be-belom,” jawabku takut-takut.
Farah mendengus kesal. “Kamu gimana sih?! Aku kan udah bilang berkali-kali, kamu pilih mana, melepaskan pekerjaan itu atau aku yang pergi dari kehidupan kamu?!”
“Iy-iya, Sayang. Aku udah milih. Aku milih kamu tetep bersama aku. Tapi … mau gimana, Pak Cokro nggak ngasih izin aku untuk resign.”
“Oh, jadi kamu lebih milih Pak Cokro daripada aku?!” suara Farah makin meninggi.
“Bu-bukan gitu…”
“Terus apa kalau bukan gitu?! Emang kamu nggak bisa yah keluar tanpa minta persetujuan dari Bos kamu yang botak sebelah itu?!”
“Bu-bukan botak sebelah, Sayang. Ta-tapi botak se-sepotong.”
“Nobon!” Farah menyalak hebat.
“Be-be-becanda Sa-say-yang …”
“KAMU KIRA AKU LAGI BECANDA?!!”
“Bu-bukan. La-lagi du-duduk.”
“NOBOOOOONNNNN!!!”
***
Aku menghempaskan tubuh ke atas kasur empuk kepunyaanku. Mataku mengelana ke luar jendela kamar yang terbuka. Ada sebuah pohon mangga di sana melambai tertiup angin. Seolah sedang melambai ke arahku mengucapkan sepotong kalimat semangat untukku agar jangan mau menyerah oleh cinta.
Ya, agar jangan mau menyerah oleh cinta demi sebuah nilai kemanusian. Itu yang aku dapat dari semua perang perasaan ini.
Tapi … apakah aku bisa tanpa Farah? Aku hampa. Farah mengancam minta putus jika keinginannya tidak dipenuhi.
Sampai detik ini aku masih tak habis pikir dengan alasan Farah yang memaksaku untuk mengundurkan diri dari Rindu Waras (RW). Tak pernah ada penjelasan sempurna keluar dari mulutnya tentang alasan mengapa dirinya ngotot memintaku resign dan menyuruhku mencari pekerjaan lain.
Yang aku tahu alasannya hanya satu, dia bilang malu punya kekasih yang kerjaannya mengantar orang-orang gila bertamasya setiap harinya.
Hanya itu. Aku tersenyum kecut.
Padahal dulu-dulu tidak begini. Farah sering ikut denganku menyambangi RW di kala libur kuliah. Dia suka melihat tingkah pola pasien yang kadang menggelitik syaraf ketawanya hingga terbawa mimpi. Dia fine-fine saja dengan pekerjaanku ini.
Tapi kini … ah, entahlah setan apa yang sudah membuatnya berubah hingga sedemikian jauhnya.
“Alasan, cewek lo tuh nggak penting banget tau nggak, Bon?” Renata misuh-misuh. Darahnya naik sampai ke ubun-ubun mendengar curhatanku barusan.
“Gila aja, masak cuma gara-gara alasan begitu terus nyuruh elo keluar dari Rindu Waras!” sambungnya. “Dasar cewek aneh! Mestinya dia itu bangga punya cowok yang bekerja demi sosial.”
“Gue lebih setuju sama alasan bos lo itu, kasihan pasien-pasien di sana, mereka udah deket banget sama elo. Gimana nanti kalau elo nggak ada? Siapa yang akan bisa mengarahkan atau menangani sifat liar mereka? Cuma elo yang bisa, Bon.”
“Bon, mengurusi mereka lebih besar pahalanya daripada elo ngurusin si Farah yang nggak penting dan sama sekali nggak ada pahalanya itu!” tutup Renata.
Semua rentetan kalimat Renata di kampus tadi siang itu terus memantul-mantul dalam benakku. Sesaat aku juga jadi teringat kembali dengan ucapan Pak Cokro tadi pagi.
“Tumben nongol pagi banget, Bon.” Pak Cokro menyambutku dengan senyum lebar. “Gitu dong, semangat! Mudah-mudahan kamu sudah melupakan tentang surat pengunduran dirimu kemarin itu. Demi kemanusiaan, Bon. Kapan lagi?” Pak Cokro menepuk bahuku dengan koran pagi yang sedang dibacanya.
Aku tertahan.
“Oh ya, kamu sudah sarapan? Pesan nasi uduk Mpok Jujun yah.” Pak Cokro mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu lalu menyodorkannya kepadaku.
“Hari ini mereka mau kamu bawa kemana?” sambungnya sembari mengintip ke lapangan dari jendela ruang kerjanya. Belasan anak didiknya sedang mengikuti senam pagi yang dipimpin Mang Dirman. Yang dipimpin sama yang memimpin sama-sama gila. Yang dipimpin gila dalam arti sebenarnya, sedang yang memimpin gila dalam arti yang lain.
Aku ikut mengintip ke lapangan. “Belum kepikiran, Pak. Tapi mungkin nggak akan jauh-jauh, masih di seputaran Bandung aja.”
“Yayaya, kamu atur saja. Refreshing bagi mereka itu sangat penting. Kita saja yang waras sangat butuh itu, apalagi mereka.” Pak Cokro tersenyum.
Dengan tubuh lemas, aku pun berlalu.
Malam ini aku termangu di beranda lantai atas kamarku. Aku merasa sedang berdiri di antara dua jurang yang curam, dan disuruh memilih salah satunya untuk kemudian terjun bebas ke bawah.
Aku tak bisa memilih. Rindu Waras sangat memerlukan baktiku. Tapi aku juga tak ingin kehilangan Farah.
***
Keesokkan harinya.
Aku masuk gerbang RW dengan gontai pagi ini. Farah terus menekanku. Sepagi ini dia sudah meneleponku sebanyak lima kali. Hanya untuk mengingatkan tentang permintaannya.
Namun sesaat kemudian konsentrasiku terpecah. Kulihat RW pagi ini berbeda dengan pagi-pagi biasanya. Semua pegawai kalang kabut seperti mau kena gusuran. Aku yang baru tiba langsung berlari mendekat ke arah kerumunan.
Belum sampai tujuan, tiba-tiba seseorang menyergap tubuhku dari arah samping.
“Nah, ini dia si Nobon!” pekik Mang Dirman menangkap tubuhku.
Aku tercekat. Kaget bukan kepalang. “Apa-apaan sih nih, Mang? Kayak lagi main petak jongkok aja pakai tangkep-tangkepan gini. Lepasin ih, nggak enak dilihat yang lain disangka peluk-pelukan gini!” semprotku.
Ups! Mang Dirman segera tersadar kalau pelukannya itu sangat berpotensi menimbulkan gosip yang tidak-tidak di kalangan pegawai lain.
“Kamu dicariin Pak Cokro daritadi, Bon! Tiara ngamuk-ngamuk sedari Subuh tadi!”
“Hah? Ngamuk?”
Mang Dirman, lelaki yang sudah mengabdi di RW selama sepuluh tahun itu, manggut khawatir. “Pohon singkong di kebun belakang habis dipatah-patahin sama dia!” serunya.
Aku melongo lagi. Tak ingin membuang waktu, segera kumeneruskan langkah mendekat ke kerumunan.
“Ada apa nih, Pak?”
Pak Cokro menoleh. Begitu melihat yang datang adalah diriku, dia langsung memelukku erat-erat.
Gusti! Tadi Mang Dirman meluk-meluk gue, sekarang Pak Cokro! Haarrgghh! Bisa nggak sih pada nggak pakai peluk-peluk segala? Aku menjerit sejadinya dalam hati.
“Tiara ngamuk, Bon.” Pak Cokro melirik seram ke arah gadis cantik nan manis yang sedang mematung di pinggir jendela.
Tiara sedang menangis sesenggukkan sembari menghadap ke kebun singkong dari balik jendela. Membelakangi semua orang yang sedang berjaga-jaga, takut kalau-kalau pasien cantik ini berniat kabur lagi ke arah kebun singkong itu dan mencabuti seluruh pohon di sana.
“Kameranya hilang. Entahlah, dia lupa menaruhnya atau memang ada yang mencuri dari kamarnya,” sambung Pak Cokro. “Kita sudah berusaha mencarinya, tapi belum ketemu. Hanya kamu yang bisa menenangkannya, Bon.” Pak Cokro menatap dalam mataku. Tampaknya dia sangat berharap banyak padaku.
Aku pun langsung mengerti. “Akan saya coba, Pak,” ujarku mengangguk takzim.
“Sementara kita terus mencari kameranya yang hilang, saya berharap kamu bisa menenangkannya.”
Aku mengangguk lagi. Lalu mendekati Tiara takut-takut. Dadaku berdegup tak tentu irama. Mungkin irama dangdut karena kebanyakan suara gendang yang kurasakan.
“Ha-ha-halo, Ti-Tia…ra.”
Gadis manis itu menoleh. Sesaat kemudian langsung tersenyum manis ke arahku. Aku membalasnya tulus. Setulus rasa syukurku karena Tiara tidak mencabik-cabik tubuhku yang tipis kerempeng ini lantaran dikira pohon singkong.
“Ke-kembali ke ka-kamar yuk,” lembutku.
Ajaib. Tiara mengangguk. Senyumnya masih tipis mengembang manis. Lalu dia melangkah pelan, meninggalkan berpasang-pasang mata yang memandangnya ngeri. Aku mengikutinya dari belakang.
Sampai di pintu Pak Cokro menarikku. “Saya makin sayang saja sama kamu, Bon,” ucapnya sembari memberikan jempolnya.
“Hah?” Aku bergidik. Kemudian berlalu.
Selesai mengurus Tiara hingga kembali tenang, aku berniat memandikan si Putih. Namun, ketika baru baca bismillah dan mulai, aku dikejutkan oleh kehadiran Mang Dirman yang tiba-tiba nongol dari kolong mobil.
“Loh, Mang, ngapain di situ?” pekikku seraya mengusap-usap dada lantaran kaget setengah mati.
“Nih, ngambil ini!” Mang Dirman menyorongkan sebuah benda yang ada di tangannya. Sebuah kamera.
Mataku membelalak. “Loh itu kan kameranya Tiara?”
“Iya, ternyata diumpetin sama Deden di kolong mobil ini. Tadi dia ngaku sama Mamang sambil cengar-cengir, katanya dongkraknya dia, maksudnya Tiara, aku pakai untuk mendongkrak mobil itu, hihihi. Jangan bilang-bilang yah, Bos.”
“Hah?”
“Ya, namanya aja orang gila, Bon. Kamera dibilang dongkrak. Terus aku dipanggil bos.” Mang Dirman cekikikkan.
“Oya, Bon. Kamu yang ngasih kamera ini ke Tiara yah, saya mah nggak berani, hiii.”
Aku mengangguk. Lalu menerima kamera itu.
Terdorong rasa penasaran, iseng aku membuka-buka isi kamera Tiara. Objek apa sih yang suka dijepret sama orang yang terganggu jiwanya? Gelitik batinku.
Aku lalu duduk di bawah pohon sebelum menyerahkan kamera ini langsung ke kamar Tiara. Tanganku mulai memencet-mencet beberapa tombol.
Namun … astaga! Aku dikejutkan oleh beberapa gambar yang membuat dadaku sesak seperti ditindih gajah Lampung.
I-ini, i-ni … kan si Farah?!
Sedang sama siapa dia?!
Cowok!
Bowo!
Berbalas kecup di tempat umum!
Bergandengan mesra!
Bergelayut manja!
Pandangan mataku memutar. Pusing. Gelap. Udara seketika menjadi hampa. Aku kacau. Aku hapal betul lokasi ini di mana.
Dan tanggal yang terekam di gambar ini???
Memoriku menggulung ke belakang.
Memutar film ketika Tiara menjambak rambut seorang wanita dari belakang di taman wisata Sariater. Karena jauh dan terhalang orang banyak, aku tak dapat melihat dengan jelas wajah wanita itu. Wanita itu menampar balik Tiara. Lalu kabur.
Semua kembali gelap.
Aku baru tersadar ketika handphone-ku menjerit-jerit. Ada sms masuk. Dari Farah. Gimana surat pengunduran dirimu? Hari ini batas akhir aku menunggu, jika kamu masih bekerja di rumah sakit orang gila itu, lebih baik aku minta putus!
Tanganku nafsu mengetik balasan. Mengurus mereka yang gila lebih berpahala daripada mengurusmu yang tidak gila tapi berkelakuan seperti orang gila!
Aku menoleh ke sebuah arah dan tersenyum. Tiara, seperti biasa, mengintipku dari balik jeruji kamarnya dan tersenyum sendiri tanpa aku pernah tahu maksud dari senyum itu.
Dalam gelap aku berkata, Tiara tidak gila, Tiara tidak gila, aku hanya perlu menunggu dia terbangun dari tidurnya dan mengatakan sesuatu tentang senyum indah itu kepada diriku. []

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengintip Dapur Pengabdi Cilok (Bagian 1)

Kaver novel terbaru saya: Pengabdi Cilok (Gramedia Pustaka Utama, Februari 2018) “Bagi Bone, cilok adalah separuh jiwanya. Apapun yang terjadi dalam hidupnya, harus berhubungan dengan cilok. Titik! Begitupun urusan nyari jodoh. Kalau cewek itu nggak jago bikin cilok, jangan harap bisa jadian sama Bone! Hihihi. Suatu hari, Bone berjumpa dengan sebungkus cilok di sekolah. Begitu dicicipi, emejing, rasa ciloknya juara banget! Edanlah pokoknya! Bone pun penasaran, siapa pemilik sekaligus pembuat cilok itu? Dengan dibantu temannya, Bone lalu mengadakan sayembara. Jika pemilik cilok ternyata cowok, bakal dikasih hadiah Iphone terbaru. Tapi, jika pemilik cilok ternyata cewek, bakal langsung dijadiin pacar sama Bone! Asyiik! Masalah jadi runyam ketika ternyata pembuat cilok itu janda beranak satu. Huwaaa! Jelas Bone jadi panik setengah mati. Apa kata dunia nanti? Bone pacaran sama emak-emak? Oh, tidaaak! Cilok membawa Bone pada kisah percintaan yang sungguh amburadul. Lan

Layaknya Bunga, Kita Memang Harus Bertumbuh dan Berkembang

Lebaran kali ini (2019), film yang paling saya tunggu adalah Ghost Writer besutan Bene Dion. Film ini bertema komedi horor, walau pada kenyataannya, sisi dramanya pun bisa dibilang cukup kental terasa. Sebelumnya, banyak yang keliru menyangka bahwa film ini adalah filmnya Ernest Prakasa. Padahal yang benar adalah Ernest justru di film ini bertindak selaku produser, bukan lagi sutradara seperti di film-film dia sebelumnya. Memang, pada perjalanannya, sebagai produser, Ernest juga banyak turut andil dalam proses editing pasca produksi. Namun, ketika ditanya, Ghost Writer itu film siapa? Ernest mantap menjawab bahwa GW adalah filmnya Bene Dion. Sekilas, film Ghost Writer bercerita tentang Naya yang harus pindah ke sebuah rumah tua bersama adiknya karena desakan ekonomi. Di rumah itu, Naya kemudian menemukan sebuah buku diari milik Galih, yang ternyata sudah meninggal, dan menjadi hantu penunggu rumah itu. Galih tidak terima buku diarinya dicuri. Akhirnya, demi sebuah proyek penu

Ratjoen Itu Bernama Materi dan Sanjung Puji

Gambar: http://www.portseo.web.id Beberapa pekan belakangan, jagad media sosial (terkhusus yang berkaitan dengan dunia literasi) ramai membahas kasus plagiarisme yang dilakukan seorang penulis (bolehlah dibilang muda) berinisial DE. Tidak tanggung-tanggung, puluhan cerpen dan beberapa novel (saya tidak punya data khusus, sumber hanya dari teman-teman penulis, pen)—yang hampir semua sudah dimuat di media massa dan terbit di beberapa penerbit nasional—terbukti hasil plagiat dari karya milik penulis lain. Entah apa motivasi dan alasan DE melakukan kejahatan ini, saya tak ingin membahasnya dalam tulisan ini. Yang jelas, bagi saya plagiarisme merupakan tindak kejahatan, sama seperti pencurian, korupsi, pemerkosaan, dan tindak kejahatan lain. Jika merujuk pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), plagiat memiliki arti pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya