Langsung ke konten utama

Mimpi Sialan!



(Cerpen ini pernah dimuat di majalah Say, Juni 2010)
Oleh Irvan Aqila

“Hhhuuuu… Dasar ceboolll!!!” suara Drajat membuat Eric langsung mengerut. Anak itu hanya bisa merunduk di mejanya. Tak mampu mengangkat wajahnya walau sedetik.
“Wahahahahaaaa…” Dudung terbahak. “Makanya jadi orang tuh tau diri dikit dong! Begitu tuh jadinya kalo di rumahnya nggak punya kaca,” makinya pedas.
“Iyah! Udah mah jelek, cebol, miskin, eh malah sok mau dapet cewek cakep lagi,” semprot Mahesa, sarkasme. Nama lengkapnya Mahesaroh.
“Ngaca doooonng!” sekarang suara anak-anak sekelas kompak membuat koor.
Eric membatu. Tubuhnya serasa beku seketika itu juga. Tulang-tulangnya tak ada satupun yang dapat digerakan lagi. Dia seolah sedang terserang struk mendadak. Semua terjadi begitu cepat, hanya selang beberapa detik setelah tamparan pedas Julia mampir di pipinya yang penuh dengan jerawat segede gundu.
Ya Tuhan! Dunia serasa menghimpit tubuhnya. Dan langit sebentar lagi akan runtuh menimpa badannya yang tingginya nggak lebih gede dari sebutir kacang tanah.
Eric baru saja ditampar Julia dengan menggunakan jurus tangan seribu. Sebabnya anak itu sudah dianggap berlaku nggak sopan dengan berusaha menggandeng tangan Julia saat ingin masuk ke kelas usai jam istirahat tadi.
Eric hampa. Dia nggak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Bagaimana bisa Julia menamparnya dan menolak untuk digandeng? Dia ini kan kekasihnya? Bagaimana mungkin Julia kekasihnya, bisa melakukan ini semua?
“Eric juga manusia. Bisa nangis bisa sedih. Jangan samakan dengan pisau mpok Wati … uwo … uwooo,” Eric menjerit dalam hati dengan tarikan suara ala Candil Seurieus. Sambil berlari keluar kelas menuju ruang perpustakaan, dia menangis sesenggukkan.
Sepanjang jalan menuju perpustakaan, cacian, makian, dan ledekan, seolah tak berhenti menghujam dirinya. Setiap siswa yang berpapasan dengannya, pasti selalu melontarkan kata-kata pahit yang sungguh tak berkeprimanusiaan. Semuanya nggak ada yang mengenakan di hati.
Pahit!
Dia mencatat dalam otaknya, makian yang terdengar paling bagus hanyalah seperti ini, “eh, liat deh, ada telor asin jalan sambil nangis,” begitu.
Catet! Itu adalah makian paling bagus. Jadi bisa dibayangkan dong gimana yang selebihnya?
Eric makin kejer sekejer-kejernya orang nangis. Tangisannya menggelegar ke segenap pelosok SMA Rindu III Jakarta Selatan. Daun-daun kapuk yang tumbuh disekitar pekarangan sekolah pun ikut berguguran. Mereka semua seolah ikut bisa merasakan kelukaan yang mengakar di hati siswa penyuka buah jambu monyet ini.

***

Di perpustakaan. Tangis Eric belum juga reda. Malahan semakin menjadi setelah seorang guru yang merasa aneh dengan kelakuannya, datang menghampiri.
“Kamu kenapa, Eric? Kok nangis sesenggukan gitu?” Bu Endang yang kebetulan lagi nyari-nyari buku Biologi 3A, bertanya.
“Hiks, hiks,” Eric masih sesenggukkan. Dia tak mau menjawab pertanyaan Bu Endang. Percuma, nanti juga ibu gurunya ini malah ikutan ketawa mendengat curhatannya. Malah tambah semakin sakit jadinya.
“Kamu kenapa Eric? Cerita sama Ibu yah, mungkin Ibu bisa bantu,” Bu Endang mengulang lagi pertanyaannya dengan lembut. Khas gaya seorang ibu pendidik.
Eric akhirnya luluh juga. Dia lalu menyeka air matanya. “Sa-sa-saya diledekin lagi Bu…”
“Diledekin lagi?”
Eric mengangguk lemah.
Diledekin sama siapa?”
“Sa-sa-sama temen-temen, Bu,” lanjutnya seraya menarik ingus dengan satu kali helaan. “Sa-saya nggak kuat lagi Bu hidup seperti ini. Sa-saya mau pindah saja dari sekolah ini.”
“Lho, kamu nggak boleh ngomong begitu. Memangnya kamu diledekin apa sama teman-temanmu?” Bu Endang begitu perhatian. Eric mulai merasa nyaman.
“Eh, itu, ehmmm, anu Bu, sa-saya dibilang cebol.”
“Oh hanya itu. Terus apa lagi?”
“Katanya saya jelek.”
“Terus?”
“Saya juga miskin.”
“Terus?”
“Trus yang terakhir, sa-saya dibilang suruh ngaca.”
Bu Endang mengerutkan kening. “Ya, terus memangnya kenapa kalau kamu dibilang seperti itu?”
“…?!” Eric langsung berhenti sesenggukkan. Dia malah jadi bingung. Dari tadi Bu Endang cuma nanya terus-terus melulu.
Bu Endang malah ikutan diam. Lalu mereka saling menatap. “Bukannya yang mereka katakan itu semuanya bener, Eric?!” tanya Bu Endang dengan tampang innocent-nya.
“Hah?!”
“Terus yang kamu bilang kamu diledekin sama teman-teman itu yang mananya?” Bu Endang bertanya tanpa menghiraukan perasaan Eric yang mulai kembali meleleh berantakan.
“Itu kan semua memang fakta?”
Dalam sekejapan Eric langsung kejer lagi. Dia berlari meninggalkan Bu Endang keluar perpustakaan dengan sekeranjang luka perih. Hatinya kini benar-benar sakit. Nggak ada lagi yang bisa diharapkan dari hidupnya kini. Semua tarasa pahit. Pahit! Perih!

***

Semua karna hari itu!
Yah, karna hari sial itu!
Kehidupan Eric berubah 360 derajat menjadi seperti ini setelah kejadian itu.
Ceritanya begini. Sekitar seminggu yang lalu, saat pulang sekolah, dia bertemu dengan seorang nenek-nenek yang sedang berdiri mematung di pinggir jalan raya. Setelah diperhatikan ternyata nenek itu mau menyebrang jalan. Soalnya nggak mungkin mau berenang.
Namun lantaran siang itu jalanan sedang padat-padatnya, beliau terlihat kesulitan.
Geraknya jadi ragu. Sebentar ingin melangkah, namun sesaat kemudian diurungkan. Barisan mobil dan motor yang seolah tak ingin memberikannya kesempatan untuk menyebrang, membuatnya hanya bisa berdiri saja, tak bergeser barang selangkah pun.
Melihat Eric lewat di sampingnya, nenek itu buru-buru memanggilnya.
“Nak, bisakah kamu menolong nenek sebentar?” tanyanya lemah. Sepertinya sudah lelah lantaran terlalu lama berdiri di sana.
Namun di luar dugaan, Eric malah berlagak seperti tak mendengar sama sekali sapaan si nenek. Dia cuek bebek dan terus melangkah.
Sebetulnya anak itu dengar, namun lantaran dia lagi buru-buru kepengen main band di rumahnya Goro, Eric berlagak cuek dan nggak dengar.
Mendapati perlakuan menyakitkan dari anak muda di dekatnya, mimik wajah si nenek langsung berubah. Dia terlihat sedih, namun di sisi lain juga kesal. Dia kecewa dengan sikap anak muda seperti Eric yang sungguh angkuh. Sama sekali tidak punya sense of karunya kepada orang tua yang sudah jompo.
Mungkin terdorong oleh rasa kesal, tiba-tiba Eric mendengar nenek itu mengucapkan sumpah serapahnya. “Dasar, anak muda sombong, Nenek sumpahin kamu jadi cebol, jelek, jerawatan, jatuh miskin. Bakalan sengsara kamu seumur hidup!” begitu sumpah si nenek. Tampaknya dia marah.
Konyolnya, bukannya takut, Eric malah iseng menyahut, “Yeee, bolehnya kok sewot sih si Nenek. Sori Nek, bukannya saya nggak cinta sama Nenek, tapi saya lagi buru-buru banget, udah telat nih. Nenek minta tolong sama orang itu aja tuh,” sambil menunjuk ke arah orang yang datang kemudian dari sisi si nenek.
Si nenek makin murka mendengar ucapan Eric yang terkesan malah meledek.
Dan aneh bin ajaib, keesokaan paginya saat Eric terbangun dari tidur, dia mendapati tubuhnya berubah dalam keadaan mengenaskan. Badannya mengecil, wajahnya banyak dihiasi jerawat segede gundu, mukanya yang lumayan keren berubah jadi kaya keran, jelek banget deh pokoknya. Seandainya saja dia disuruh main adu jelek-jelekkan sama badut Afrika, anak ini pasti masih menang telak jeleknya.
Dan bukan hanya itu saja. Eric yang terkenal di sekolah sebagai anak paling tajir satu angkatan, kini keadaannya berbalik. Dia mendapati keadaan rumahnya kini menjadi sungguh memprihatinkan. Hanya berupa bilik bambu, tak lebih luas dari pos ronda.
Eric sontak histeris mendapati perubahan pada dirinya!
Beberapa anggota keluarga yang lain, yang mendengar jeritan Eric pagi itu, mengira Eric kesurupan setan penunggu jembatan Semanggi. Maminya panik lantaran pagi-pagi anaknya yang paling jelek sudah teriak-teriakan mirip Wiro Sableng.
Eric menanyakan tentang semua keanehan ini sama maminya. Tapi maminya malah nyangka Eric mulai gila. Menurut maminya, dari sebelum Eric lahir pun keadaan mereka memang sudah seperti ini. Miskin. Dan Eric juga memang terlahir dengan keadaan seperti ini. Cebol, jelek, hitam dan jerawatan.
Tak puas dengan jawaban si mami, Eric bertanya sama papinya. Terus dia juga bertannya sama omanya yang ikut tinggal di rumahnya. Terus sama Nayla adiknya juga. Dan anehnya, semua jawaban sama. Keadaan mereka sekeluarga memang sudah seperti ini dari dulu.
Eric makin stres.
Kira-kira begitu ceritanya.

* * *

“Hiks, hiks,” Eric sesenggukan di belakang gedung sekolah, dekat gudang tua yang sudah lama tak terpakai. Sendirian duduk tercenung. Hari ini dia tak mau masuk kelas. Percuma masuk kelas kalau hanya akan dijadikan bahan olok-olokan teman-temannya sepanjang jam pelajaran.
Tiba-tiba,
“Hiiihihi… hihi, eheuk, eheuk! Euheum,” Eric mendengar ada suara orang cekikikkan terus keselek. Eric ngejingkat kaget. Suaranya seperti suara nenek-nenek.
“Siapa tuh?!” tanya Eric gemetar.
“Jennifer Lopez,” jawab suara itu santai.
Eric bengong. Sejak kapan Jelo jadi sember begini suaranya?
“Hihi… hihihihi… kamu lagi ngapain bengong sendirian di sini, Eric Cebol? Hihiii… hihihi,” suara itu menyeringai mengerikan.
Eric makin ciut. Bulu kuduknya spontan berdiri. “Siapa sih? Kalo berani keluar dong. Jangan nakut-nakutin gitu,” ucapnya makin gemetar.
“Hihi… hihihi… aku adalah Nenek yang waktu itu minta tolong nyerbang, eh nyebrang, tapi kamu nggak tolongin. Terus akhirnya Nenek nyebrang sendiri dan ketabrak bajaj, hihihihi… hihi…”
Eric pias. Wajahnya langsung pucat pasi.
“Hah? Apa? Ne-nek?”
“Iya, inilah aku!” gertak suara itu.
“Te-terus Nenek mati?” tanya Eric masih sempat-sempatnya bego.
“Nggak!” suara itu membentak. “Yaeyalah mati! Kalo nggak mati mana bisa sekarang hantu Nenek gentayangan begini. Bego lo!” bentak suara itu lagi. Marah.
“Hah?!! Hantu?!!” Eric tersedak. Sebentar lagi dia bakal pipis di celana nih kayaknya.
“Iya, hantu! Hihihi… hihi…”
Dug! Mendengar semua itu, jantung Eric makin mpot-mpotan nggak keruan. Dia benar-benar takut. Bibirnya mulai komat-kamit.
 “Jangan ganggu saya! Tolong! Jangan ganggu saya, Nek! Nenek sudah membuat hidup saya sengsara seperti ini. Nenek mau apa lagi mengganggu saya?”
“Hehehe, salah lo sendiri kenapa nggak mau nolongin gua waktu itu?”
“Jadi bener ini semua gara-gara sumpah Nenek?”
“Iyah, hihi… hihiii.”
Tanpa pikir panjang lagi, Eric langsung sembah sujud ke arah datangnya suara itu. “Ampun Nek, ampun! Saya ngaku salah! Saya memang sudah berlaku durhaka sama Nenek waktu itu. Ampun Nek, ampun! Saya janji nggak akan mengulanginya lagi Nek. Ampuuunn!”
“Hehe, semuanya sudah terlambat, Eric. Nasi udah dicampur semur, eh salah, maksudnya nasi sudah jadi bubur. Semua nggak bisa kembali lagi.”
“Apa?!” Eric melotot. “Tolong, Nek, tolong saya. Saya pengen kembali seperti semula. Saya sangat tersiksa seperti ini, Nek. Julia sampai nggak mau lagi saya pegang tangannya, dan temen-temen selalu ngejekin saya. Toloonng, Nek. Saya mohon…”
Menyaksikan korbannya memelas India seperti itu, si hantu nenek kasihan juga.
“Hihi… hihihhi, Nenek sih mau-mau aja nolongin kamu, dan menarik sumpah Nenek. Tapi ada imbalannya nggak??!”
Eric bengong. “Imbalan?”
“Iya, imbalan!” suara itu terdengar marah lagi.
“Ne-Nenek minta imbalan apa?” tanya Eric gagap.  
“Sebagai imbalannya Nenek minta kamu berubah.”
“Berubah?”
“Iya. Kamu tau nggak apa lagi kesalahan kamu selain sudah berlaku kurang ajar sama Nenek waktu itu?”
Eric menggeleng ragu.
“Dasar anak nggak tahu diri! Kamu tau nggak, kamu itu terlalu sombong jadi orang! Mentang-mentang kaya, kamu jadi pelit. Mentang-mentang ganteng dan keren, kamu jadi sering ngatain orang. Dan kamu juga belagu! Kamu suka ngatain Drajat ingusan, Dudung jerawatan, dan Mahesaroh kamu bilang cewek nggak laku karna suka ngupil di sembarang tempat. Itu salahmu!”
Eric bisu. Dalam hati dia mengakui semua kesombongannya itu.
“Iya, Nek, saya ngaku salah. Terus saya harus gimana, Nek?”
“Kamu harus ngerubah sifat kamu itu, dan kamu harus minta maap sama mereka semua yang udah pernah kamu sakiti hatinya. Kamu udah ngerasain kan gimana sakitnya dikata-katain gitu?” suara itu marah lagi.
“Iya, Nek, saya kapok. Tapi gimana caranya minta maap sama mereka? Apa mereka masih mau maapin saya?”
 “Mudah-mudahan masih mau. Eits, tapi nanti dulu, tadi kamu belum bilang mau ngasih imbalan apa kalo Nenek bersedia menarik sumpah Nenek?”
Eric mikir sebentar. “Nenek maunya apa?”
“Hehehe,” terdengar si hantu nenek terkekeh. Seram banget ketawanya. “Nenek mau kamu nyomblangin Nenek sama si Hudori, satpam sekolah ini yang sudah lama Nenek suka. Hehehe.” Suara itu malu-malu.
“Hah?!! Jadi Nenek mau si Hudori yang hidungnya pesek itu jadi pacar Nenek?”
“Tuh kan! Kamu mulai ngata-ngatain orang lagi!” suara itu meninggi.
“Ya ampun, maap Nek. Maap. Aku keceplosan,” Eric buru-buru menampar-nampar mulutnya yang menyong.
“Satu lagi, selain minta maap, kamu juga harus nyiumin ketek temanmu yang pernah kamu sakiti itu satu persatu. Itu syarat wajib jika kamu ingin wajahmu bisa kembali seperti semula.”
“Hah?!! Nyium ketek?!!”
“Iya. Kenapa? Kamu nggak mau?”
“Emm, i-iya ma-mau, Nek,” Eric terpaksa.
“Ya udah, sekarang Nenek pamit dulu. Nenek mau creambath. Nanti malem temen hantu Nenek ada yang mau ngapel ke kuburan. Daaggh Eric Cebol, hiii… hiihii… hihi.”
Jleb! Suasana langsung berubah hening. Begitu suara itu menghilang, Eric langsung ngacir menuju kelasnya.
Di dalam kelas, Bu Marisah Eva sedang mengisi jam Matematika. Teman-temannya kaget begitu melihat Eric masuk dengan tergopoh-gopoh seperti bencong dikejar-kejar Satpol PP.
Tak ingin buang waktu, Eric langsung menjalankan perintah si hantu nenek tadi. Dia langsung menciumi ketek Dudung, Drajat, sama Mahesaroh. Tak lama kemudian ketek anak-anak yang lain juga ikut dia ciumin. Rupanya dia ketagihan.
Yang lain tertawa geli menyaksikannya. Tapi Eric cuek. Ini demi kebaikkannya.
Bu Marisah Eva melongo hebat melihat kelakuan sableng muridnya yang satu itu. Darah tingginya sontak langsung kumat. Dan…
“EERRRIIIICC!!! BANGUN KAMUUU!!!” suaranya menggelegar.
Eric terhenyak. Kaget. Matanya membuka. Sambil gelagapan tangannya mengusap cairan bening yang meleler di pipinya. Anak-anak yang lain langsung terbahak-bahak. Ngakak main kencang-kencangan.
Eric bingung sendiri.
Apa sih yang lagi terjadi sebenarnya?
Eric mengamati sekelilingnya.
Ya ampun, ternyata dari setadi itu dia tertidur di dalam kelas saat pelajaran Bu Marisah Eva berlangsung. Dia bermimpi.
“Eric!!! Kenapa kamu tidur di kelas?!!” Bu Marisah Eva menyalak hebat.
“Alhamdulillah, Bu,” jawab Eric geblek. Dia bersyukur mengetahui kenyataan yang sebenarnya bahwa dia barusan hanya tertidur dan bermimpi. []

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengintip Dapur Pengabdi Cilok (Bagian 1)

Kaver novel terbaru saya: Pengabdi Cilok (Gramedia Pustaka Utama, Februari 2018) “Bagi Bone, cilok adalah separuh jiwanya. Apapun yang terjadi dalam hidupnya, harus berhubungan dengan cilok. Titik! Begitupun urusan nyari jodoh. Kalau cewek itu nggak jago bikin cilok, jangan harap bisa jadian sama Bone! Hihihi. Suatu hari, Bone berjumpa dengan sebungkus cilok di sekolah. Begitu dicicipi, emejing, rasa ciloknya juara banget! Edanlah pokoknya! Bone pun penasaran, siapa pemilik sekaligus pembuat cilok itu? Dengan dibantu temannya, Bone lalu mengadakan sayembara. Jika pemilik cilok ternyata cowok, bakal dikasih hadiah Iphone terbaru. Tapi, jika pemilik cilok ternyata cewek, bakal langsung dijadiin pacar sama Bone! Asyiik! Masalah jadi runyam ketika ternyata pembuat cilok itu janda beranak satu. Huwaaa! Jelas Bone jadi panik setengah mati. Apa kata dunia nanti? Bone pacaran sama emak-emak? Oh, tidaaak! Cilok membawa Bone pada kisah percintaan yang sungguh amburadul. Lan

Layaknya Bunga, Kita Memang Harus Bertumbuh dan Berkembang

Lebaran kali ini (2019), film yang paling saya tunggu adalah Ghost Writer besutan Bene Dion. Film ini bertema komedi horor, walau pada kenyataannya, sisi dramanya pun bisa dibilang cukup kental terasa. Sebelumnya, banyak yang keliru menyangka bahwa film ini adalah filmnya Ernest Prakasa. Padahal yang benar adalah Ernest justru di film ini bertindak selaku produser, bukan lagi sutradara seperti di film-film dia sebelumnya. Memang, pada perjalanannya, sebagai produser, Ernest juga banyak turut andil dalam proses editing pasca produksi. Namun, ketika ditanya, Ghost Writer itu film siapa? Ernest mantap menjawab bahwa GW adalah filmnya Bene Dion. Sekilas, film Ghost Writer bercerita tentang Naya yang harus pindah ke sebuah rumah tua bersama adiknya karena desakan ekonomi. Di rumah itu, Naya kemudian menemukan sebuah buku diari milik Galih, yang ternyata sudah meninggal, dan menjadi hantu penunggu rumah itu. Galih tidak terima buku diarinya dicuri. Akhirnya, demi sebuah proyek penu

Ratjoen Itu Bernama Materi dan Sanjung Puji

Gambar: http://www.portseo.web.id Beberapa pekan belakangan, jagad media sosial (terkhusus yang berkaitan dengan dunia literasi) ramai membahas kasus plagiarisme yang dilakukan seorang penulis (bolehlah dibilang muda) berinisial DE. Tidak tanggung-tanggung, puluhan cerpen dan beberapa novel (saya tidak punya data khusus, sumber hanya dari teman-teman penulis, pen)—yang hampir semua sudah dimuat di media massa dan terbit di beberapa penerbit nasional—terbukti hasil plagiat dari karya milik penulis lain. Entah apa motivasi dan alasan DE melakukan kejahatan ini, saya tak ingin membahasnya dalam tulisan ini. Yang jelas, bagi saya plagiarisme merupakan tindak kejahatan, sama seperti pencurian, korupsi, pemerkosaan, dan tindak kejahatan lain. Jika merujuk pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), plagiat memiliki arti pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya