Langsung ke konten utama

(Cerpen) Perempuan Tercanggih



(Cerpen ini pernah dimuat di majalah STORY, Mei 2010)
Oleh Irvan Aqila
 
“Di mana Arifin?”
Aku dengar suara tak sopan itu dari dalam kamar. Jantungku berubah irama, sedikit lebih ngebit. Suara lelaki paling kelabu di dunia ini, setidaknya bagiku. Sama sekali tak memancarkan cahayanya sebagai orangtua. Dan aku tak pernah sedikitpun punya cita-cita kelak jika sudah besar nanti akan punya kelakuan sepertinya. Takkan pernah!
Beliau adalah ayahku.
“Ada di kamarnya sedang belajar. Mau Ibu panggilkan, Yah?” sahut Ibu dengan suara kontras. Ibu begitu lembut, sabar, tidak seperti Ayah.
“Biar aku saja.”
Suara langkah mengarah mendekat. Tak lama aku mendengar suara pintu kamarku di gedor-gedor. Memang tidak sekeras biasanya, namun tetap saja bagiku ini adalah gedoran, bukan ketukan. Orang tua lain itu kalau mengetuk pintu kamar anaknya dengan suara ‘tuk-tuk-tuk’, dan bukan ‘buk-buk-buk’.
Dasar! Dengan malas aku bangkit dari kasur, kemudian beringsut mendekati pintu.
Aroma tembakau sampah langsung menyeruak masuk menyusup ke kamarku melalui celah sempit yang tercipta antara kusen dan daun pintu. Aku sempat menahan nafas sebentar. Aku paling benci bau rokok. Tak peduli teman-temanku memakiku banci karna tak merokok. Tapi buktinya, aku masih paling keren di antara mereka tanpa rokok sekalipun.
“Ada apa, Yah?” kuusahakan tak terlalu tampak kemalasanku menghadapi laki-laki ini.
“Keluar sebentar, ada yang mau Ayah bicarakan,” perintahnya seraya berbalik badan dan berjalan menuju sofa depan.
“Bicarakan sama aku?” tanyaku iseng.
Ayah berbalik, menatapku tajam, dan kembali meneruskan langkahnya. Aku tersenyum dalam hati. Nyari gara-gara saja kau, Arifin!
Aku mengikutinya dengan gontai di belakang tubuhnya yang sudah tidak tegap lagi. Aku sempat melirik ke arah Ibu yang sedang melipat pakaian yang baru diangkat dari jemuran. Matanya menatapku kosong.
Tak lama setelah aku duduk, Ibu beranjak masuk ke kamar, setelah sebelumnya meletakkan tumpukan pakaian itu di atas meja makan yang beralih fungsi menjadi meja gosokan dan tempat nenaruh berbagai macam barang kecil.
“Ayah sudah putuskan, kamu tak usah kuliah dulu tahun ini,” sambil membuang abu rokok ke dalam asbak.
Jleger! Bagai tersambar petir di siang bolong aku terbelalak hebat. Darahku seperti mendidih ada yang memantikkan api. Apa-apaan ini? Tidak usah kuliah dulu tahun ini? Apa aku tidak salah dengar? Coba ulang sekali lagi! Pakai speaker kalau perlu, biar aku jelas!
“Ayah tidak punya uang untuk menguliahkan kamu!” tanpa ada kata-kata lagi setelah itu, Ayah lalu bangkit menuju kamarnya. Tak lama ia keluar lagi dengan menenteng jaket kulit hitam dan meraih kunci mobil yang ada di gantungan kunci dekat pintu kamarnya. Sebatang barang memuakkan masih menangkring membara di bibirnya yang kehitaman.
Aku masih membeku di sofa yang tak terlalu empuk. Tubuhku seperti terbelenggu oleh keterkejutan. Tak bisa kugerakkan. Dan mulut inipun seperti dikunci belasan gembok, tak jua mau membuka. Aku tak kuasa melakukan apapun.
Tak lama Ibu keluar dan menyusul Ayah di depan.
“Mau ke mana, Yah?”
Aku bisa mendengar kalimat Ibu. Tapi tak kudengar ada jawaban yang tertangkap oleh kupingku setelah itu, selain bunyi pintu mobil ditutup dan suara deru mesin Terrios yang menderu dan lamat-lamat semakin menjauh.
 “Keparat!”
Ajaib, setelah Ayah pergi, mulutku malah lancar mengucapkan kata-kata sesuka hati. Ugh! Kenapa tidak mau keluar dari tadi! Batinku kesal.
Tak sampai setengah menit, Ibu lantas masuk lagi dan menutup pintu pelan-pelan. Tubuhnya kemudian disandarkan di balik pintu. Matanya terpejam, mungkin sedang berusaha agar nafasnya bisa ditarik teratur. Membiarkan semua kekesalan menguap bersama hembusan nafas yang keluar dan sebisa mungkin jangan sampai ada yang tertinggal bersemayam dalam rongga dada yang sudah penuh sesak dijejali urusan dapur. Sudah setahun belakangan si Keparat itu seperti ogah-ogahan memberi kami nafkah. Sebulan Ibu hanya diberi uang belanja 200 ribu. Padahal aku dan kedua adikku masih sekolah dan butuh lebih banyak uang lagi untuk ongkos sehari-hari.
“Ibu juga yang bandel! Apa aku bilang dari dulu, minta cerai, minta cerai, minta cerai, Bu! Tapi Ibu malah memilih betah hidup seperti ini dengan lelaki keparat itu!” Amarahku semakin menjadi.
Aku tersentak ketika perempuan paruh baya di hadapanku berlari dan menabrakkan tubuhnya ke tubuhku. Memelukku erat hingga aku agak kesulitan bernafas.
“Istighfar, Nak. Istighfar. Dia itu Ayahmu. Dosa kamu, dosa. Durhaka. Istighfar, Nak.”
Aku masih bergeming.
“Kalau kamu memang masih sayang sama Ibu, bersabarlah. Demi Ibu. Demi Ibu, Nak. Demi adikmu yang masih harus meneruskan sekolah.”
Kalau sudah seperti ini, aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Kata-kata Ibu seperti menghipnotisku untuk segera melupakan segala perlakuan brengsek Ayahku kepada keluarga ini. Aku sungguh tak kuasa menyanggah ucapan Ibu. Beliau terlalu berharga untuk kusakiti. Terlalu mahal untukku tumpahkan air matanya. Aku tak bisa. Sungguh tak bisa.
Walaupun hanya segitu uang yang Ayah kasih, tapi bagi Ibu ini sangat bermanfaat. Uang itu digunakan untuk keperluan sekolah adikku, Husna. Untuk jajan dan ongkos sehari-hari. Untuk makan, Ibu memilih menjadi buruh cuci ke beberapa tetangga. Hasilnya lumayan.
Ibu bagiku, dia adalah wanita tercanggih yang pernah aku miliki.
Hingga beberapa menit aku masih memeluknya. Membiarkan hidungku bebas menyesap bau badan khas seorang Ibu. Bau badan yang tercipta atas kasih sayangnya yang sempurna terhadap permata-permatanya ini. Aku dan adikku yang masih kecil.

***
Keesokan harinya.
Sepulang dari sekolah aku sengaja melewati rumah gedong di ujung jalan masuk komplek Panghegar Alam yang berdesain minimalis dengan balutan cat merah bata cemerlang. Ini rumah istri mudanya Ayah. Ternyata Ayah juga ada di sini, lihat saja Terrios-nya nongkrong di garasi.
Baru selangkah ingin mendekat, tiba-tiba sebuah pick-up warna putih menyalip dan berhenti persis di depan rumah Ayah. Aku menahan nafas sejenak. Di bak belakang mobil itu berdiri sebuah sepeda motor mahal keluaran terbaru.
Pikiranku mulai kacau. Aku memilih mengintip dari warung rokok tak jauh dari sana. Jangan-jangan…
Tampak dua orang karyawan berseragam hitam abu-abu keluar dari dalam mobil berlogo sayap merah dan menurunkan motor itu.
Selang setengah jam setelahnya. Dan aku masih di sini, memandang muak ke arah rumah di depanku. Mobil tadi mendekat, dengan cepat tanganku menyetopnya.
“Orang itu beli motor tadi cash atau kredit, Pak?” todongku tanpa basa-basi.
Kedua alis orang yang aku tanya menyatu. “Cash. Kenapa memang, Dek?” jawabnya ragu campur bingung.
“Keparat!” Aku berlalu begitu saja tanpa berkata apa-apa lagi. Meninggalkan dua orang yang (mungkin) sedang melongo bersama kebingungannya.
Sesampaiku di rumah.
“Bu, lihat kelakuan lelaki keparat itu!” teriakku sambil membanting tas ke lantai.
“Astaghfirulloh, Arifin. Kenapa kamu pulang sekolah marah-marah gitu? Bukan salam bukan apa. Kenapa kamu, Nak?” Ibu selalu saja lembut seperti itu.
Aku langsung menceritakan semuanya. Apa yang tertangkap oleh mataku barusan saat melewati rumah istri mudanya Ayah dan tentang jawaban dua orang karyawan perusahaan berlogo sayap merah tadi yang aku tanyai.
Cairan bening itu kulihat menyembul dari pelupuk mata Ibu yang sudah mengerut dimakan usia dan mbleber jatuh ke bawah.
“Bilangnya tak punya uang untuk menguliahkan aku! Tapi buktinya apa? Beli motor baru berpuluh-puluh juta untuk anaknya yang di sana, dia bisa! Keparat kan, Bu!”
Ibu makin terisak. “Nak, sudahlah. Berhenti kamu memaki Ayahmu sendiri. Tidak baik, Nak. Terima saja semua ini dengan ikhlas. Toh, tidak kuliahpun kamu tidak akan mati kan, Nak?”
“Terima saja gimana, Bu? Iya, memang sekarang tidak akan mati. Tapi, nanti. Lima sampai sepuluh tahun lagi. Aku akan tergerus oleh mereka-mereka yang punya titel segambreng! Dan lamat launpun akan mati.”
Aku tahu Ibu bingung. Matanya menatap dalam ke wajahku. Mungkin tak mengerti dengan yang aku maksud.
“Bu, Ibu bisa lihat. Zaman sekarang apa yang bisa dihasilkan dari selembar ijazah SMA, Bu? Yang sarjana saja banyak yang menganggur, Bu. Ibu lihat di luar sana! Persaingan dunia kerja begitu ketat. Bisa apa aku jika hanya bermodalkan ijazah SMA nanti, Bu?!” tanpa kusadari, nada bicaraku sudah mulai sedikit meninggi.
Ibu hanya diam saja terduduk di sofa. Hanya butir-butir bening yang mengalir hangat di pipi, yang mewakilkan segala jawaban hatinya. Aku tak kuasa melanjutkan.
Sejak saat itu, aku putuskan untuk tak ingin membahas masalah kuliahku lagi. Tak apalah, memang sudah takdirku mungkin tak bisa kuliah, walau dalam hati masih belum terima, aku mencoba untuk mengikhlaskan. Semua ini kuambil setelah Ibu menasehatiku pada malam harinya.
“Sudah bisa menamatkan SMA saja seharusnya kamu sudah bersyukur, Nak. Masih beruntung Ayahmu mau menyekolahkan dan membiayaimu sampai lulus SMA.”
“Tapi kan memang itu kewajiban seorang Ayah, Bu? Termasuk membiayai anaknya sekolah.”
“Memang, memang benar itu adalah kewajiban orangtua membiayai anaknya. Tapi, bukan berarti kita sebagai anak bisa menuntut ini itu kepada orang tua. Kalau memang Ayahmu hanya mau menyekolahkanmu sampai SMA saja, ya sudah terima saja. Kita tak punya hak untuk melawannya. Toh, memang dia yang mencari nafkahkan? Jadi dia yang berhak mengatur.”
“Mengapa seperti itu, Bu? Berarti dia sudah dzolim terhadap keluarga dong?”
“Urusan dzolim atau tidak, biarlah itu menjadi urusan Alloh. Alloh yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui. Biarlah Alloh yang menilai dan membalasnya jika memang perbuatan Ayahmu salah. Urusan kamu sebagai anak tetap berbakti kepada orang tua. Tak ada satupun alasan untuk anak membentak kasar, memaki, apalagi memusuhi ayahnya sendiri. Biar bagaimanapun ia itu adalah ayahmu. Ayah kandungmu. Kamu punya kewajiban untuk menghormatinya, meskipun jalan kalian berbeda.” Kata-kata Ibu berhenti sampai sana. “Nak.”
“Iyah, Bu,” aku mendongakkan wajah ke atas. Ibu memang duduk di atas sofa sedangku di lantai sembari menyetrika. Kulihat wajah Ibu seperti tak biasanya. Ada sesuatu yang membias di sana. Seperti sebuah isyarat, tapi apa?
“Ah, tidak. Tidak jadi,” senyumnya dipaksakan.
“Bu,” panggilku pelan.
Ibu melirik. “Iya, kenapa, Nak?”
“Apa… Ibu tidak lelah hidup seperti ini? Ibu tidak lelah menghadapi Ayah yang tak pernah menghargai Ibu sedikitpun? Mengapa Ibu begitu sabar, Bu? Mengapa? Aku … tak pernah bisa mengerti jalan pikiran yang ada di kepala Ibu ...”
Ibu memelukku erat. Kami menumpahkannya berdua melalui tangisan, hingga tak sadar aku tertidur dengan kepala berbantal pangkuannya sampai pagi. Ibu tidur sambil duduk, tak beringsut sedikitpun takut aku terbangun.
Kesokan harinya.
Ibu pergi dari pagi bersama Husna entah ke mana. Sudah hampir petang begini mereka berdua belum juga pulang. Aku mulai agak sedikit khawatir. Jangan-jangan terjadi apa-apa dengan mereka. Perasaanku mulai tak enak. Langit di luar seperti mau hujan.
Namun semua bisikan setan itu segera kubuang jauh-jauh. Kata Ibu, was-was adalah salah satu kerjaan setan yang membisikkan perasaan macam-macam ke dalam hati manusia, hingga manusia senantiasa gelisah dan cemas.
Baru saja aku mau beranjak dari dudukku untuk mengambil handuk untuk mandi, tiba-tiba terdengar suara orang mengetuk pintu sambil mengucapkan salam di luar.
“Wa’alaikum salam…” sahutku membukakan pintu. Kukira Ibu, ternyata bukan. Seorang lelaki gemuk memakai kaos bola tak kukenal.
“Mas ini yang namanya Arifin yah?’
Aku mengangguk mantap. “Iya, Pak, benar. Ada apa yah, Pak?” aku mulai tegang.
Untuk selanjutnya aku sudah berdiri di sebuah ruangan rumah sakit yang di depan pintunya tadi sempat kulihat sebelum masuk terpampang tulisan ‘Kamar Jenazah’.
“Ibuuuuuuuuu … jangan tinggalin Arifin sendiri, Bu! Ibuuuuuuu … tidak, Bu! Tidak!” teriakku meraung-raung sejadinya. Seorang lelaki menghampiriku dan menenangkanku. Dia orang yang tadi menjemputku di rumah.
“Yang sabar yah, Mas. Mungkin ini sudah takdir Yang Kuasa.”
Aku refleks menabrakkan diri ke tubuhnya. Aku memeluknya. Menangis sejadinya di sandaran bahunya. Memejamkan mata dan berharap terbangun mendapati ini hanya mimpi.
Tapi ini nyata, bukan mimpi.
Setelah melihatku agak sedikit lebih tenang. Ia menyerahkan sesuatu kepadaku.
“Apa ini, Pak?” tanyaku bingung. Aku tahu itu handycam. Tapi maksudnya apa? Benda siapa ini? Kenapa dikasih ke aku?
“Handycam itu yang dibawa-bawa sama Ibumu tadi sebelum kecelakaan itu. Aku yang melihatnya, karna aku juga sempat dishoot sama beliau dan diwawancarai. Ibumu menjadi korban tabrak lari saat menyebrang. Handycam itu terpelanting jauh dan jatuh ke tanah, namun aneh tak rusak bahkan lecet sedikitpun.”
“Shoot? Wawancara?” ucapku bingung. Ah, aku sekarang ingat. Inikan handycam-nya tetanggaku! Iya, benar! Aku ingat, aku pernah memakainya saat acara sunatan putranya. Saat itu aku membantunya mendokumentasikan acara tersebut.
Tanganku ragu menekan tombol play. Tampak gambar Ibu di sebuah warung makan khas Sunda yang cukup besar dan sedang ramai pengunjung. “Arifin, lihatlah! Pemilik warung ini ternyata hanya tamatan SD kalau kamu mau tahu. Jauh di bawah kamu yang beruntung bisa sampai SMA. Tapi lihatlah! Dengan kemauan dan keuletannya yang dahsyat, kini ia berhasil menjadi seorang jutawan dengan mengurus rumah makan khas Sunda miliknya ini,” suara Ibu dalam rekaman itu ceria. Pasti yang memegangi handycam-nya adalah adikku. Air mata menitik deras tak bisa kubendung. Ibu jangan tinggalin aku, Bu!
“Ini dia pemilik rumah makan ini, Nak!” Tampak di layar handycam gambar seorang laki-laki gendut sedang menjawab pertanyaan-pertanyaan Ibu sambil tersenyum dengan penuh gaya riang.
Astaga!
“Lho, ini kan... ini kan…”
“Iya, benar. Itu adalah saya. Dan saya hanya lulusan SD,” ucap lelaki di sebelahku. []

Perempuan Tercanggih
54% Based on true story

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengintip Dapur Pengabdi Cilok (Bagian 1)

Kaver novel terbaru saya: Pengabdi Cilok (Gramedia Pustaka Utama, Februari 2018) “Bagi Bone, cilok adalah separuh jiwanya. Apapun yang terjadi dalam hidupnya, harus berhubungan dengan cilok. Titik! Begitupun urusan nyari jodoh. Kalau cewek itu nggak jago bikin cilok, jangan harap bisa jadian sama Bone! Hihihi. Suatu hari, Bone berjumpa dengan sebungkus cilok di sekolah. Begitu dicicipi, emejing, rasa ciloknya juara banget! Edanlah pokoknya! Bone pun penasaran, siapa pemilik sekaligus pembuat cilok itu? Dengan dibantu temannya, Bone lalu mengadakan sayembara. Jika pemilik cilok ternyata cowok, bakal dikasih hadiah Iphone terbaru. Tapi, jika pemilik cilok ternyata cewek, bakal langsung dijadiin pacar sama Bone! Asyiik! Masalah jadi runyam ketika ternyata pembuat cilok itu janda beranak satu. Huwaaa! Jelas Bone jadi panik setengah mati. Apa kata dunia nanti? Bone pacaran sama emak-emak? Oh, tidaaak! Cilok membawa Bone pada kisah percintaan yang sungguh amburadul. Lan

Layaknya Bunga, Kita Memang Harus Bertumbuh dan Berkembang

Lebaran kali ini (2019), film yang paling saya tunggu adalah Ghost Writer besutan Bene Dion. Film ini bertema komedi horor, walau pada kenyataannya, sisi dramanya pun bisa dibilang cukup kental terasa. Sebelumnya, banyak yang keliru menyangka bahwa film ini adalah filmnya Ernest Prakasa. Padahal yang benar adalah Ernest justru di film ini bertindak selaku produser, bukan lagi sutradara seperti di film-film dia sebelumnya. Memang, pada perjalanannya, sebagai produser, Ernest juga banyak turut andil dalam proses editing pasca produksi. Namun, ketika ditanya, Ghost Writer itu film siapa? Ernest mantap menjawab bahwa GW adalah filmnya Bene Dion. Sekilas, film Ghost Writer bercerita tentang Naya yang harus pindah ke sebuah rumah tua bersama adiknya karena desakan ekonomi. Di rumah itu, Naya kemudian menemukan sebuah buku diari milik Galih, yang ternyata sudah meninggal, dan menjadi hantu penunggu rumah itu. Galih tidak terima buku diarinya dicuri. Akhirnya, demi sebuah proyek penu

Ratjoen Itu Bernama Materi dan Sanjung Puji

Gambar: http://www.portseo.web.id Beberapa pekan belakangan, jagad media sosial (terkhusus yang berkaitan dengan dunia literasi) ramai membahas kasus plagiarisme yang dilakukan seorang penulis (bolehlah dibilang muda) berinisial DE. Tidak tanggung-tanggung, puluhan cerpen dan beberapa novel (saya tidak punya data khusus, sumber hanya dari teman-teman penulis, pen)—yang hampir semua sudah dimuat di media massa dan terbit di beberapa penerbit nasional—terbukti hasil plagiat dari karya milik penulis lain. Entah apa motivasi dan alasan DE melakukan kejahatan ini, saya tak ingin membahasnya dalam tulisan ini. Yang jelas, bagi saya plagiarisme merupakan tindak kejahatan, sama seperti pencurian, korupsi, pemerkosaan, dan tindak kejahatan lain. Jika merujuk pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), plagiat memiliki arti pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya