Langsung ke konten utama

BERCITA-CITALAH, MAKA KAU AKAN SEMPURNA!


 
Cita-cita itu ibarat sebuah dinamo. Ia akan menggerakkan arus positif dan arus negatif yang akan mengontrol tubuh kita. Ia juga ibarat sebuah bahan bakar, yang menggerakkan kendaraan untuk bergerak maju dan melesatkan kereta dengan cepat.
Cita-cita itu ibarat sebuah pintu. Ya, ia adalah pintu kebahagian, pintu kesuksesan, dan pintu kesempurnaan.
Cita-cita itu juga ibarat sebuah obat yang mujarab. Ia akan menghilangkan kelemahan. Menghilangkan kemalasan. Menghilangkan kesedihan. Dan menghilangkan kehinaan.
Tahun 2003 aku divonis dokter menderita GERD; Gastro Esofegal Reflux Disease. Penyakit ini menyerang esofagus dan lambung. GERD bermula dari maag yang terlalu diabaikan dan pola hidup yang jauh dari kata disiplin. Sehingga kemudian asam lambung yang berlebih sering naik ke esofagus (jembatan antara kerongkongan menuju lambung) ketika mencerna makanan. Dan menyebabkan rusaknya esofagus/GERD. Rasanya sangat tidak nyaman, susah bernafas (sesak), mudah pusing, cepat lelah, nyeri uluhati, dan lain sebagainya. Semua itu sudah barang tentu sangat membatasi gerak tubuhku sehari-hari.
GERD menyulapku menjadi laki-laki lemah.
Bahkan akibat GERD aku dipaksa menghentikan seluruh aktivitas kuliahku di akhir tahun 2005. Dan hingga kini mimpi untuk jadi sarjana itu pun masih menggantung entah dimana.
Bertahun-tahun aku terkungkung dalam ketidakberdayaan. Menyepi di dalam rumah ketika remaja seumuranku sibuk bercengkerama dengan ilmu di kampus-kampus dan teman sebaya. Saat mereka bergerak ke sana kemari mengisi hidup, aku malah sibuk membuat bubur dan macam-macam rebusan sayur untuk jatah makanku hari ini. Ajib kan? Yah, begitulah seterusnya.
Dan efek dari puncak keterbatasan itu adalah ketika aku memutuskan untuk menanggalkan semua cita-cita dan mimpi yang selama ini telah kurajut sempurna. Dokter/rumah sakit seperti sudah menjadi teman/rumah keduaku. Bolak-balik mengunjungi mereka dalam rentang waktu yang sangat dekat.
Aku bagai bangkai yang berjalan. Hidup tak tentu arah karena tak punya sedikit pun cita-cita dan mimpi. Bergerak, berpindah, beringsut dari satu posisi ke posisi lain, namun tak disertai tujuan yang berarti. Karena aku merasa seluruhnya tidak mampu aku lakukan lantaran fisik yang sungguh terbatas ini.
Hanya kesembuhan yang aku harapkan. Tidak ada lagi.

MENJADI DAHSYAT DI TENGAH KETERBATASAN!
Kemampuan kita terbatas? Itu bukan masalah! Sebab bila di tengah keterbatasan itu kita mampu mendahsyatkan diri untuk meraih prestasi tinggi, itulah kepahlawanan sejati.
Sudah banyak rasanya buku yang berkisah tentang orang-orang terbatas yang sukses meledakkan dirinya dengan prestasi yang luar biasa. Kisah mereka sebagai cermin hidup kita. Mereka orang biasa. Mereka terbatas. Namun di tengah keterbatasannya, jiwa mereka tergugah untuk tampil menyejarah.
Kita yang terbatas dipaksa untuk mencontoh jejak para tokoh seperti Syeikh Ahmad Yassin yang mengalami lumpuh sejak usia belia. Atau semangat yang meledak pada diri Doktor Helen Keller; Seorang wanita yang buta, bisu, dan tuli, namun mampu mendahyatkan dirinya hingga menjadi seorang Doktor. Atau di dalam negeri kita bisa belajar dari seorang Gola Gong; penulis senior yang pernah menjadi seorang atlet bulu tangkis hanya dengan satu tangan (karena ia kehilangan tangan yang satunya sedari kecil karena harus diamputasi).
Kita yang keterbatasannya belum seberapa dibandingkan mereka jadi merasa tertantang untuk bisa bangkit kembali. Cukup kalian tahu bahwa keterbatasan bukanlah ujung dari semua cita-cita dan mimpi-mimpi kita. Justru keterbatasan menjadi titik awal untuk kita bisa membuktikan. Dan penyakit bukanlah musuh abadi. Ia malah kadang bisa menjadi teman baik, manakala kita membutuhkan bahan muhasabah untuk kemudian menjadikannya pecutan yang dahsyat dalam keistiqomahan.
Kita tak munafik bahwa keadaan senggang, luang, sehat, nyaman, kadang membuat diri ini terlena dan jauh dari keistiqomahan. Justru karena sakit kita malah merasa harus melawan penyakit itu dengan semangat dan membuat kita malah bisa lebih istiqomah.
Coba aja deh rasain sendiri. Kadang kalau lagi luang tuh kita malas banget ibadah. Tapi begitu sempit (sakit) aja? Hehehe. Getol! Tapi alhamdulillah, berarti masih ada sadarnya. Yang berabe tuh kalau sudah dikasih sempit sama Allah, eh nggak sadar-sadar.
Tanpa ada seorang pun yang tahu, aku pungut kembali cita-cita dan mimpi yang sempat kubuang jauh-jauh selama ini. Kubersihkan dan kupajang rapi dalam hatiku. Namun kali ini cita-cita itu kumodifikasi layaknya sebuah kendaraan, menyesuaikan kemampuan sang supir.
Jreng!
Jika dulu aku bercita-cita ingin jadi seorang desainer grafis dan bekerja di sebuah kantor majalah sebagai ilustrator, sekarang…
Aku ingin jadi seorang penulis!
Hehehe. Ya, benar! Itulah cita-cita modifikasiku. Kan kutuang semua catatan hidupku yang seru ini (aku akhirnya berdamai dengan si GERD, aku bilang memelihara GERD itu seru. Karena aku jadi tidak sembarang makan lagi, hehehe) ke dalam lembar tulisanku.
Dalam pertimbanganku saat itu adalah; seorang penulis tidak perlu pergi bekerja ke luar rumah setiap hari. Penulis itu bisa menulis di mana saja dia mau, kapan saja dan dengan gaya apa saja dia suka. Aku membayangkan aku masih bisa menulis sambil nungging-nungging saat merasakan perut yang kembung akibat perbuatan si GERD (misal pahitnya). Dan yang paling penting untuk menjadi seorang penulis aku tidak perlu kuliah! Cihuuuyyy! Karena saat dipaksa si GERD untuk memutuskan aktivitas kuliahku saat itu, aku pikir saat itulah masa depanku sudah habis.
Zero To Hero-nya Akhi solikhin jelas bukan ‘biang keladi’ satu-satunya yang menyebabkan api semangat dalam diriku berkobar kembali. Masih ada campur tangan Allah Azza Wa Zalla yang  utama, dukungan orang lain serta ladang ilmu dari berbagai sumber. Namun percayalah, buku ini bagiku merupakan sumber inspirasi besar yang pernah ambil bagian dalam penciptaan semangatku yang sempat meredup itu. Goresan-goresan tulisan di dalamnya banyak membuatku berpikir ulang bahwa sesungguhnya berprestasi dalam keadaan terbaik itu biasa, namun berprestasi dalam keadaan terbatas itulah sejatinya yang luar biasa!
“Cita-cita itu ibarat sebuah obat yang mujarab. Ia akan menghilangkan kelemahan. Menghilangkan kemalasan. Menghilangkan kesedihan. Dan menghilangkan kehinaan.” Aku membuktikan benar kalimat-kalimat mujarab dalam buku ini.
Dan karena cita-cita dan azzam yang kuatlah… yang mendorongku untuk menghasilkan semua karya ini di tengah keterbatasanku.
Beberapa karya yang sudah berhasil kubuat di tengah keterbatasan selama ini; novel Sholeh on 7, Pinokiyoh, Ketika Cinta Berlari, Cinta Bikin Mules, The Last Jomblo, beberapa buku non fiksi dan beberapa cerpen yang diterbitkan di media. Itu semua hasil di antara banyak hasil yang kugoreskan di tengah keterbatasanku.
Alhamdulillah … Engkau ternyata begitu sayang kepadaku Ya Allah!
ZERO TO HERO!

-Irvan Aqila-

Komentar

Anonim mengatakan…
Sangat edun sekali spirit dari tulisan inih! Love it! Aku juga pingin jadi penuliiiiiiiiiiiiiiiiiisssssss!!!

Tapi sy tidak punya GERD, sy cuma punya sekolah yg tidak pernah ramah pada pria melankolis inih. Hehe.

Postingan populer dari blog ini

Mengintip Dapur Pengabdi Cilok (Bagian 1)

Kaver novel terbaru saya: Pengabdi Cilok (Gramedia Pustaka Utama, Februari 2018) “Bagi Bone, cilok adalah separuh jiwanya. Apapun yang terjadi dalam hidupnya, harus berhubungan dengan cilok. Titik! Begitupun urusan nyari jodoh. Kalau cewek itu nggak jago bikin cilok, jangan harap bisa jadian sama Bone! Hihihi. Suatu hari, Bone berjumpa dengan sebungkus cilok di sekolah. Begitu dicicipi, emejing, rasa ciloknya juara banget! Edanlah pokoknya! Bone pun penasaran, siapa pemilik sekaligus pembuat cilok itu? Dengan dibantu temannya, Bone lalu mengadakan sayembara. Jika pemilik cilok ternyata cowok, bakal dikasih hadiah Iphone terbaru. Tapi, jika pemilik cilok ternyata cewek, bakal langsung dijadiin pacar sama Bone! Asyiik! Masalah jadi runyam ketika ternyata pembuat cilok itu janda beranak satu. Huwaaa! Jelas Bone jadi panik setengah mati. Apa kata dunia nanti? Bone pacaran sama emak-emak? Oh, tidaaak! Cilok membawa Bone pada kisah percintaan yang sungguh amburadul. Lan

Layaknya Bunga, Kita Memang Harus Bertumbuh dan Berkembang

Lebaran kali ini (2019), film yang paling saya tunggu adalah Ghost Writer besutan Bene Dion. Film ini bertema komedi horor, walau pada kenyataannya, sisi dramanya pun bisa dibilang cukup kental terasa. Sebelumnya, banyak yang keliru menyangka bahwa film ini adalah filmnya Ernest Prakasa. Padahal yang benar adalah Ernest justru di film ini bertindak selaku produser, bukan lagi sutradara seperti di film-film dia sebelumnya. Memang, pada perjalanannya, sebagai produser, Ernest juga banyak turut andil dalam proses editing pasca produksi. Namun, ketika ditanya, Ghost Writer itu film siapa? Ernest mantap menjawab bahwa GW adalah filmnya Bene Dion. Sekilas, film Ghost Writer bercerita tentang Naya yang harus pindah ke sebuah rumah tua bersama adiknya karena desakan ekonomi. Di rumah itu, Naya kemudian menemukan sebuah buku diari milik Galih, yang ternyata sudah meninggal, dan menjadi hantu penunggu rumah itu. Galih tidak terima buku diarinya dicuri. Akhirnya, demi sebuah proyek penu

Ratjoen Itu Bernama Materi dan Sanjung Puji

Gambar: http://www.portseo.web.id Beberapa pekan belakangan, jagad media sosial (terkhusus yang berkaitan dengan dunia literasi) ramai membahas kasus plagiarisme yang dilakukan seorang penulis (bolehlah dibilang muda) berinisial DE. Tidak tanggung-tanggung, puluhan cerpen dan beberapa novel (saya tidak punya data khusus, sumber hanya dari teman-teman penulis, pen)—yang hampir semua sudah dimuat di media massa dan terbit di beberapa penerbit nasional—terbukti hasil plagiat dari karya milik penulis lain. Entah apa motivasi dan alasan DE melakukan kejahatan ini, saya tak ingin membahasnya dalam tulisan ini. Yang jelas, bagi saya plagiarisme merupakan tindak kejahatan, sama seperti pencurian, korupsi, pemerkosaan, dan tindak kejahatan lain. Jika merujuk pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), plagiat memiliki arti pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya