Langsung ke konten utama

Jamur Jamur Lebay


Pernah denger kata ‘jamur’? Apa yang pertama kali terlintas di otak Anda? Ayam Cah Jamur? Mie Ayam Jamur? Tumis Kangkung Jamur Kancing? Atau ... yang sekarang lagi rame, Jamur Crispy?
Hayah, itu sih enak. Tapi kalau jamurnya yang tumbuh di liang telinga? Nah, lho? Bingung kan? Sumpah, nggak ada enak-enaknya dan nggak bisa dimakan pula.
Ini yang saya rasakan beberapa hari belakangan. Otomikosis (ini nama penyakit, jangan dikira sejenis umbi-umbian). Infeksi jamur pada liang telinga luar. Sebenernya penyakit model ini sih awalnya sudah saya rasakan pada bulan puasa kemarin. Tapi waktu itu sih udah beres, meski harus ditebus dengan biaya yang (bagi saya) sangat ngajak miskin.
Runyamnya, nggak tau kenapa tuh jamur bisa nongol lagi kemarin. Tiba-tiba aja. Mau tau rasanya? Silakan dicobain sendiri. Gatel, nyut-nyutan, pusing, berdenging-denging, budeg, leher tegang, berpadu jadi satu. Asoy!
Hari ke-4 penderitaan, malamnya saya nggak bisa tidur. Akhirnya, meski dengan perasaan berat dan pilu (mengingat duit yang harus saya keluarkan, lagi) tadi siang saya memutuskan kembali lagi ke rumah sakit (THT). Kebetulan saya sudah punya dokter THT langganan (nah, lho, ke dokter THT udah kaya makan bakso pake langganan). Namanya dokter Ong Awarudin. Buat orang Tangerang dan sekitarnya, doi biasa praktek di RSIA HONORIS Daan Mogot, RSIA HONORIS Pasar Baru, dan MAYAPADA HOSPITAL Modernland.
Dokter Ong ini kocak banget orangnya. Aseli! Dan jahil pula. Mungkin itulah yang membuat saya sering kangen berat sama doi (halah, berobat kok kangen). Sebelum ketemu dokter Ong, saya pernah trauma dengan dokter THT lain. Otomikosis yang disebabkan karena keadaan liang telinga yang lembab, waktu itu malah dikasih obat tetes telinga sama dokter tersebut. Alhasil tuh jamur makin tumbuh subur karena keadaan liang telinga yang basah dan saya makin jejingkrakkan nahan sakit selesai berobat. Pelajaran pertama, jangan asal main masukin obat tetes telinga ke mulut, eh, ke telinga sembarangan.
Pada saat jamur-jamur lebay itu dibersihin dan dicabut sampe akar-akarnya oleh dokter, rasanya nikmat bukan main. Serasa liang telinga kita lagi dikorek pake obeng kembang. Bisa dibayangkan? Pertama liang telinga diairin dulu kayak sawah yang mau dipanen (istilahnya ear irrigation). Sensasinya kayak suara ombak Pangandaran yang dideketin ke gendang telinga. BYUURR! Pelajaran kedua, ternyata bukan cuma sawah aja yang butuh irigasi, liang telinga juga.
Setelah itu liang telinga dicolok-colok, dikodek-kodek, diputer-puter. Dalam episode ini saya sampe melintir-melintir dan (akhirnya) keluar air mata saking nahan sakit. Istri saya yang ikut nemenin sampe nggak mau melihat ekspresi wajah saya. Mungkin sambil ngebatin, “kalo aja gue tau jeleknya kayak gini pas lagi meringis, mungkin dari dulu nggak mau diajak nikah.” Hehe. Pelajaran ketiga, memilih pasangan hidup jangan dilihat dari wajah tampannya. Buktinya saya aja yang asli tampan bisa jelek saat meringis kesakitan. Tapi lihat juga hatinya, seperti saya. :p
Kira-kira hampir 15 menit saya mengalami penyiksaan fisik, mental, dan juga (yang pasti setelah ini penyiksaan dompet). Dan begitu selesai dengan enteng dokter Ong bilang, “yap, selesai sudah penderitaannya Pak Irvan,” sambil cengar-cengir. Nyebelin!
“Dok, dulu kan sudah hilang. Terus kenapa kok bisa timbul lagi jamurnya? Apa penyebabnya?” tanya saya serius.
“Mungkin kangen aja sama saya,” sahut dokter Ong dengan wajah innocent-nya.
Arrgghhh!
Saya tanya lagi. “Kenapa selalu telinga yang kanan aja, Dok?”
“Oh, jadi maunya dua-duanya?”
Oke, cukup! Saya gak bakal nanya-nanya lagi! Batin saya bete.
Akhirnya setelah saya manyun, dokter Ong bersedia menjelaskan. Intinya, jamur itu tumbuh disebabkan oleh keadaan liang telinga yang lembab. Bisa karena air bekas mandi, berenang, keringat, atau apa pun, dan juga faktor cuaca. Atau bisa juga dari faktor sempitnya liang dan berliku, sehingga tingkat kelembapannya lebih tinggi. Karena kontur tiap liang telinga masing-masing orang berbeda.
Berikut saya copaskan lengkapnya dari http://yudhine.wordpress.com/2010/04/19/otomikosis-2/ yang kurang lebih sama seperti yang dokter Ong jelaskan pada saya.
 Spesial, untuk saudari-saudari muslimah, pastikan benar-benar kering keadaan telinga setelah mandi atau apa pun yang berhubungan dengan air, sebelum kembali mengenakan kerudung–pesan ini titipan dari isteri saya.
So, tetap jaga kebersihan liang telinga kita. Percayalah, mencegah itu lebih baik daripada ketemu dokter Ong! Hihihi... (tiba-tiba jadi kangen sama becandaan doi, padahal tadi siang baru ketemu. Selamat istirahat buat dokter Ong, terima kasih tadi siang sudah menyiksa saya, lagi). :D

Indonesia, 28 Januari 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengintip Dapur Pengabdi Cilok (Bagian 1)

Kaver novel terbaru saya: Pengabdi Cilok (Gramedia Pustaka Utama, Februari 2018) “Bagi Bone, cilok adalah separuh jiwanya. Apapun yang terjadi dalam hidupnya, harus berhubungan dengan cilok. Titik! Begitupun urusan nyari jodoh. Kalau cewek itu nggak jago bikin cilok, jangan harap bisa jadian sama Bone! Hihihi. Suatu hari, Bone berjumpa dengan sebungkus cilok di sekolah. Begitu dicicipi, emejing, rasa ciloknya juara banget! Edanlah pokoknya! Bone pun penasaran, siapa pemilik sekaligus pembuat cilok itu? Dengan dibantu temannya, Bone lalu mengadakan sayembara. Jika pemilik cilok ternyata cowok, bakal dikasih hadiah Iphone terbaru. Tapi, jika pemilik cilok ternyata cewek, bakal langsung dijadiin pacar sama Bone! Asyiik! Masalah jadi runyam ketika ternyata pembuat cilok itu janda beranak satu. Huwaaa! Jelas Bone jadi panik setengah mati. Apa kata dunia nanti? Bone pacaran sama emak-emak? Oh, tidaaak! Cilok membawa Bone pada kisah percintaan yang sungguh amburadul. Lan

Layaknya Bunga, Kita Memang Harus Bertumbuh dan Berkembang

Lebaran kali ini (2019), film yang paling saya tunggu adalah Ghost Writer besutan Bene Dion. Film ini bertema komedi horor, walau pada kenyataannya, sisi dramanya pun bisa dibilang cukup kental terasa. Sebelumnya, banyak yang keliru menyangka bahwa film ini adalah filmnya Ernest Prakasa. Padahal yang benar adalah Ernest justru di film ini bertindak selaku produser, bukan lagi sutradara seperti di film-film dia sebelumnya. Memang, pada perjalanannya, sebagai produser, Ernest juga banyak turut andil dalam proses editing pasca produksi. Namun, ketika ditanya, Ghost Writer itu film siapa? Ernest mantap menjawab bahwa GW adalah filmnya Bene Dion. Sekilas, film Ghost Writer bercerita tentang Naya yang harus pindah ke sebuah rumah tua bersama adiknya karena desakan ekonomi. Di rumah itu, Naya kemudian menemukan sebuah buku diari milik Galih, yang ternyata sudah meninggal, dan menjadi hantu penunggu rumah itu. Galih tidak terima buku diarinya dicuri. Akhirnya, demi sebuah proyek penu

Ratjoen Itu Bernama Materi dan Sanjung Puji

Gambar: http://www.portseo.web.id Beberapa pekan belakangan, jagad media sosial (terkhusus yang berkaitan dengan dunia literasi) ramai membahas kasus plagiarisme yang dilakukan seorang penulis (bolehlah dibilang muda) berinisial DE. Tidak tanggung-tanggung, puluhan cerpen dan beberapa novel (saya tidak punya data khusus, sumber hanya dari teman-teman penulis, pen)—yang hampir semua sudah dimuat di media massa dan terbit di beberapa penerbit nasional—terbukti hasil plagiat dari karya milik penulis lain. Entah apa motivasi dan alasan DE melakukan kejahatan ini, saya tak ingin membahasnya dalam tulisan ini. Yang jelas, bagi saya plagiarisme merupakan tindak kejahatan, sama seperti pencurian, korupsi, pemerkosaan, dan tindak kejahatan lain. Jika merujuk pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), plagiat memiliki arti pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya